Jumat, 27 September 2019

Kesusastraan Arab Jahiliyah


Kesusasteraan Arab Jahiliyyah
1.      Pengantar
Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya mengenai bangsa Arab pada Zaman Jahiliyyah, kita dapat melihat dengan jelas dari hasil karya bangsa Arab yang ada pada masa itu. Sebab hal itu sesuai dengan ungkapan seorang pujangga bahwa sastra adalah cermin kehidupan dari suatu bangsa. Keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah tidak dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat yang telah berkebudayaan tinggi, karena hal itu sangat erat hubungannya dengan keadaan geografis jazirah Arab itu sendiri.
             Keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah sangat sukar untuk berhubungan dengan dunia luar. Sebab faktor yang menghubungkan dengan dunia luar tidak seluas seperti pada zaman lahirnya agama Islam. Faktor utama yang menghalangi bangsa Arab berhubungan dengan dunia luar, bahwa mereka sedikit pun belum mengenal arti persatuan nasional diantara sesama mereka. Sehingga bila ada hubungan dengan dunia luar, hal itu hanya sebatas pada suatu kabilah tertentu saja dan tidak bersifat nasional, seperti bangsa lain.
            Walaupun jazirah Arab pernah dijajah oleh bangsa Persia dan Romawi, namun penjajahan itu tidak dapat menguasai bangsa Arab secara keseluruhannya, dan bangsa Arab selalu berusaha melawan mereka. Oleh karena itu, kedua penjajah itu tidak dapat memaksakan kebudayaan mereka sedikit pun, sehingga bangsa Arab masih tetap mempertahankan kebebasan mereka sendiri. Semua yang diwarisi oleh nenek moyang seperti agama, kebudayaan, kesusastraan, dan ada istiadat mereka masih tetap asli, tidak terpengaruh oleh kebudayaan asing.
            Dari hal di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah mempunyai ciri ke-Araban yang mutlak, jauh dari segala pengaruh kebudayaan dan pemikiran asing.
       Ketandusan alam jazirah Arab merupakan faktor utama yang menyebabkan perekonomian bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah sangat sederhana sekali. Di mana ketandusan itu menghalangi mereka untuk bercocok tanam. Demikian juga dengan jalan perdagangan dapat dikatakan sangat sukar, karena belum terjadinya hubungan antar daerah. Ditambah  lagi dengan adanya pemusuhan diantara suku-suku Arab yang satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa jalannya perdagangan tidak dapat selancar seperti yang kita bayangkan. Karena itulah, sumber kehidupan mereka yang termudah adalah dengan jalan merampas kekayaan orang lain dengan cara kekerasan, sehingga seringkali terjadi pertumpahan darah diantara mereka.
            Dari keadaan ekonomi di atas, dapat kita simpulkan pula bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah isi dan pemikirannya masih sangat sederhana, dan jauh dari pemikiran yang sukar dijangkau oleh masyarakat pada masa itu. Dengan demikian syair yang dihasilkan pada masa itu jauh lebih indah dari masa sesudahnya. Khususnya syair yang dihasilkan pada zaman Abasiyyah, yang kebanyakan lebih bersandar pada pemikiran yang tinggi dan bahasa yang muluk-muluk. Sedangkan syair pada zaman Jahiliyyah lebih banyak bersandarkan pada kehalusan perasaan dan ketinggian daya khayal daja, karena bentuknya lebih asli dan jauh dari sifat atau khayalan yang palsu.

2.      Batasan Masa Jahiliyah
 Batasan waktu zaman jahiliyah adalah 150 tahun sebelum kedatangan Islam. Selama ini banyak orang memahami bahwa zaman jahiliyah meliputi seluruh waktu dan masa sebelum Islam atau yang disebut masa pra Islam. Tetapi bagi para pengkaji sastra Arab, masa jahiliyah dapat dilacak sampai 150 tahun sebelum kenabian.
Para pengkaji sastra tidak memasuki fase sebelum itu tetapi memfokuskan masa pada 150 tahun sebelum kenabian, suatu masa dimana bahasan Arab mengalami kematangan dan Syi'r jahili lahir menggunakan bahasa periode itu. Al-Jahid mengatakan Syi'r Arab masih berusia muda, yang pertama memperkenalkan Syi'r jahili kepada kita adalah Imru al-Qais ibn Hujr dan Muhalhil ibn Rabi'ah. Kalau kita teliti masa antara Muhalhil dan kedatangan Islam adalah 150 tahun. Karena sebelum fase ini berita-berita tentang Syi'r belum diketahui. Hal ini juga terjadi pada sejarah Arab utara yang masih misteri sejak dikalahkannya kerajaan Arab oleh kerajaan Romawi di Batrah dan Tidmar.
Ada sedikit berita-berita dari peninggalan kerajaan Persia dan Bizantium, dan sedikit prasasti yang ditemukan oleh para ahli kajian Semit, prasasti itu memberitakan tentang kerajaan Gasssasinah di Syam, kerajaan Munadhirah di Hirah dan kerajaan Kindah di utara Nejd, sedangkan berita-berita tentang sejarah sebelum abad keenam belas Masehi sangat terbatas. Berita-berita pasca itu maksudnya adalah berita pada masa Jahiliyah, semakin jelas karena banyaknya berita-berita dan Syi'r-Syi'r tentang raja-raja kerajaan kota-kota di Hijaz khususnya Mekah dan kabilah-kabilah yang mengalami banyak peperangan, karena itu masa Jahiliyah kita batasi 150 tahun sebelum Islam dan masa sebelum itu kita sebut fase jahiliyah pertama dan kita tidak membahasnya (Dhaif, 2001: 39).

Kata Jahiliyah yang kita kenal pada masa sekarang ini bukan berasal dari kata al-jahl, yang merupakan lawan kata dari al-ilm akan tetapi jahiliyah berasal dari kata al-jahl yang berarti angkuh, kasar, marah, yang merupakan lawan kata al-islam yang berarti tunduk, pasrah dan taat kepada Allah yang melahirkan sikap dan akhlak yang mulia. Dalam al-Quran dan hadis serta Syi'r jahiliyah kata jahiliyah dipakai dalam arti tidak patuh, membantah dan marah. Dalam beberapa surat di al-Quran disebutkan:

قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ.

"Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (QS. 2: 67).

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.

"Jadilah Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh" (QS. 7: 199).

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاماً.

"Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan" (QS. 25: 63).

Dalam hadis Nabi diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. berkata kepada Abi Dzar yang mencela seseorang dengan mencaci maki ibunya:

 إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّة

"Sesungguhnya kamu seseorang yang dalam dirimu sikap jahiliyah".

Dalam mu'allaqatnya Amru ibn Kaltsum At-Taghliby berkata:

أَلاَ لا يَجْهَلَنْ أَحَدٌ عَلَيْنَا فَنَجْهَلَ فَوْقَ جَهْلِ اْلجَاهِلِيْنَا

"Tidak ada orang yang menyumpah serampahi kami sehingga kami membalasnya dengan cacian yang lebih hina cacian jahiliyah" (Dhaif, 2001: 39).


3.      Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah


Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.      Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.

Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.

Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.

Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa'alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).

Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan'a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.

Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.

Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. "Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku". Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).

Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi'r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi'r mu'allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi'r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba' juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa'adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.

Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba' berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi'rnya, diantaranya; Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).

2.      Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.

Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).

Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi'r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang pedas. Syi'r-Syi'r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.

4.      Perhatian Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa dan Pengaruhnya dalam kehidupan mereka
 Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan "kemah", alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi'r/syair di samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi'r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi'r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi'r/puisi yang telah "dicatat" dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau "pencatat benak", tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi'r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi'r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja.      
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu'lu' (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi'r daripada prosa, karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
  1. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka menangkan. 
  2. Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya. 
  3. Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang mereka.

Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab. 
Bahasa dan kandungan Syi'r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Soal Olimpiade Bahasa Arab Tahun 2019

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Internasional. Satu dari enam bahasa resmi yang digunakan dalam organisasi Perserikatan Bangsa-ba...