Kesusasteraan Arab Jahiliyyah
1.
Pengantar
Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya mengenai bangsa
Arab pada Zaman Jahiliyyah, kita dapat melihat dengan jelas dari hasil karya
bangsa Arab yang ada pada masa itu. Sebab hal itu sesuai dengan ungkapan seorang
pujangga bahwa sastra adalah cermin kehidupan dari suatu bangsa. Keadaan bangsa
Arab pada zaman Jahiliyyah tidak dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat yang
telah berkebudayaan tinggi, karena hal itu sangat erat hubungannya dengan
keadaan geografis jazirah Arab itu sendiri.
Keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah
sangat sukar untuk berhubungan dengan dunia luar. Sebab faktor yang
menghubungkan dengan dunia luar tidak seluas seperti pada zaman lahirnya agama
Islam. Faktor utama yang menghalangi bangsa Arab berhubungan dengan dunia luar,
bahwa mereka sedikit pun belum mengenal arti persatuan nasional diantara sesama
mereka. Sehingga bila ada hubungan dengan dunia luar, hal itu hanya sebatas
pada suatu kabilah tertentu saja dan tidak bersifat nasional, seperti bangsa
lain.
Walaupun jazirah Arab
pernah dijajah oleh bangsa Persia dan Romawi, namun penjajahan itu tidak dapat
menguasai bangsa Arab secara keseluruhannya, dan bangsa Arab selalu berusaha
melawan mereka. Oleh karena itu, kedua penjajah itu tidak dapat memaksakan
kebudayaan mereka sedikit pun, sehingga bangsa Arab masih tetap mempertahankan
kebebasan mereka sendiri. Semua yang diwarisi oleh nenek moyang seperti agama,
kebudayaan, kesusastraan, dan ada istiadat mereka masih tetap asli, tidak
terpengaruh oleh kebudayaan asing.
Dari hal di atas, dapatlah
kita ambil kesimpulan bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah mempunyai
ciri ke-Araban yang mutlak, jauh dari segala pengaruh kebudayaan dan pemikiran
asing.
Ketandusan alam jazirah
Arab merupakan faktor utama yang menyebabkan perekonomian bangsa Arab pada
zaman Jahiliyyah sangat sederhana sekali. Di mana ketandusan itu menghalangi
mereka untuk bercocok tanam. Demikian juga dengan jalan perdagangan dapat
dikatakan sangat sukar, karena belum terjadinya hubungan antar daerah.
Ditambah lagi dengan adanya pemusuhan
diantara suku-suku Arab yang satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa jalannya perdagangan tidak dapat selancar seperti yang kita bayangkan.
Karena itulah, sumber kehidupan mereka yang termudah adalah dengan jalan
merampas kekayaan orang lain dengan cara kekerasan, sehingga seringkali terjadi
pertumpahan darah diantara mereka.
Dari keadaan ekonomi di
atas, dapat kita simpulkan pula bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah
isi dan pemikirannya masih sangat sederhana, dan jauh dari pemikiran yang sukar
dijangkau oleh masyarakat pada masa itu. Dengan demikian syair yang dihasilkan
pada masa itu jauh lebih indah dari masa sesudahnya. Khususnya syair yang
dihasilkan pada zaman Abasiyyah, yang kebanyakan lebih bersandar pada pemikiran
yang tinggi dan bahasa yang muluk-muluk. Sedangkan syair pada zaman Jahiliyyah
lebih banyak bersandarkan pada kehalusan perasaan dan ketinggian daya khayal
daja, karena bentuknya lebih asli dan jauh dari sifat atau khayalan yang palsu.
2.
Batasan
Masa Jahiliyah
Batasan
waktu zaman jahiliyah adalah 150 tahun sebelum kedatangan Islam. Selama ini
banyak orang memahami bahwa zaman jahiliyah meliputi seluruh waktu dan masa
sebelum Islam atau yang disebut masa pra Islam. Tetapi bagi para pengkaji
sastra Arab, masa jahiliyah dapat dilacak sampai 150 tahun sebelum kenabian.
Para
pengkaji sastra tidak memasuki fase sebelum itu tetapi memfokuskan masa pada
150 tahun sebelum kenabian, suatu masa dimana bahasan Arab mengalami kematangan
dan Syi'r jahili lahir menggunakan bahasa periode itu. Al-Jahid mengatakan
Syi'r Arab masih berusia muda, yang pertama memperkenalkan Syi'r jahili kepada
kita adalah Imru al-Qais ibn Hujr dan Muhalhil ibn Rabi'ah. Kalau kita teliti
masa antara Muhalhil dan kedatangan Islam adalah 150 tahun. Karena sebelum fase
ini berita-berita tentang Syi'r belum diketahui. Hal ini juga terjadi pada
sejarah Arab utara yang masih misteri sejak dikalahkannya kerajaan Arab oleh
kerajaan Romawi di Batrah dan Tidmar.
Ada
sedikit berita-berita dari peninggalan kerajaan Persia dan Bizantium, dan
sedikit prasasti yang ditemukan oleh para ahli kajian Semit, prasasti itu
memberitakan tentang kerajaan Gasssasinah di Syam, kerajaan Munadhirah di Hirah
dan kerajaan Kindah di utara Nejd, sedangkan berita-berita tentang sejarah
sebelum abad keenam belas Masehi sangat terbatas. Berita-berita pasca itu
maksudnya adalah berita pada masa Jahiliyah, semakin jelas karena banyaknya
berita-berita dan Syi'r-Syi'r tentang raja-raja kerajaan kota-kota di Hijaz
khususnya Mekah dan kabilah-kabilah yang mengalami banyak peperangan, karena
itu masa Jahiliyah kita batasi 150 tahun sebelum Islam dan masa sebelum itu
kita sebut fase jahiliyah pertama dan kita tidak membahasnya (Dhaif, 2001: 39).
Kata
Jahiliyah yang kita kenal pada masa sekarang ini bukan berasal dari kata
al-jahl, yang merupakan lawan kata dari al-ilm akan tetapi jahiliyah berasal
dari kata al-jahl yang berarti angkuh, kasar, marah, yang merupakan lawan kata
al-islam yang berarti tunduk, pasrah dan taat kepada Allah yang melahirkan
sikap dan akhlak yang mulia. Dalam al-Quran dan hadis serta Syi'r jahiliyah
kata jahiliyah dipakai dalam arti tidak patuh, membantah dan marah. Dalam
beberapa surat di al-Quran disebutkan:
قَالُوا
أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ.
"Mereka
berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa
menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang
dari orang-orang yang jahil" (QS. 2: 67).
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.
"Jadilah
Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh"
(QS. 7: 199).
وَعِبَادُ
الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاماً.
"Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan" (QS.
25: 63).
Dalam
hadis Nabi diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. berkata kepada Abi Dzar yang
mencela seseorang dengan mencaci maki ibunya:
إِنَّكَ
امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّة
"Sesungguhnya
kamu seseorang yang dalam dirimu sikap jahiliyah".
Dalam
mu'allaqatnya Amru ibn Kaltsum At-Taghliby berkata:
أَلاَ
لا يَجْهَلَنْ أَحَدٌ عَلَيْنَا فَنَجْهَلَ فَوْقَ جَهْلِ اْلجَاهِلِيْنَا
"Tidak
ada orang yang menyumpah serampahi kami sehingga kami membalasnya dengan cacian
yang lebih hina cacian jahiliyah"
(Dhaif, 2001: 39).
3.
Faktor-Faktor
Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi
geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi
perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab
yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya
al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu:
Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat
dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras
menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip
antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan
gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas
etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra.
Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang
memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu
yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan
kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik,
kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain
faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra
zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi
perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.
Pasar (al-Aswaq)
Menurut
Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar
umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.
Ukaz
adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai
sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah, yang
dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan pasar
Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8, saat
hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar
Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram.
Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan
10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi
orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi menyebut
pasar Ukaz sebagai pasar umum.
Pasar
Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai
pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal
20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir.
Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa
orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar,
hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat
dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat
dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim
haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu,
layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil
perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam
sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian
mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang
banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya
menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan
yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar
di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para
pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan
yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab
jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda
dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan
peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa'alabi menjelaskan
bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang
adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan
membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan.
Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada
hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji
adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy.
Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang
mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas
laut, seperti: Aden, Shan'a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau
oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi
pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota
Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di
tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang
lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang
dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di
pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya
dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera,
parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan
pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang
menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh
Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan
orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar
itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar,
bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat
diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum
politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan
persoalan yang ada sejak dahulu. "Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi
politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik,
dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga
muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan
politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku". Pasar-pasar
tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai
tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).
Secara
praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh
para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap
Syi'r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri
alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi'r
mu'allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan
mendengarkan Syi'r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba' juga mendatangi
pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan,
dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz
sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku
Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa'adah,
maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan
sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.
Hal
itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak
saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan
diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba' berkumpul dan
berlomba-lomba dalam berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa
Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di
tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi'rnya, diantaranya;
Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar
Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut
telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah
(obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai
persatuan (Karim, 2002: 312).
2.
Ayyam al-‘Arab
Salah
satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah
apa yang dikenal dengan sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam
al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum
muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air.
Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan,
memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang
bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara
penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa.
Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani
mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan
dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan
cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang
biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan
peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah
pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam
kehidupan mereka.
Rangkaian
peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita,
kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan
segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan
terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku.
Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral.
Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan
kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan
akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).
Ayyam
al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi'r
Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk
menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang pedas.
Syi'r-Syi'r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti
Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.
4.
Perhatian
Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa dan Pengaruhnya dalam kehidupan
mereka
Kehidupan
masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam
karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah
adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman
Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan
masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan
"kemah", alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang
masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia,
Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya
sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun
sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab,
sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir
sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati
dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada
akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada
umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] ,
hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan
begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam
sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang
wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab
Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap
kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang
eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan
tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa
diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre
sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi'r/syair di samping
sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang
disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu
dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam
sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi'r dan prosa. Dibandingkan
dengan jenis sastra Syi'r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah
sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih
membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara
keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan
setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi'r/puisi yang telah
"dicatat" dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau "pencatat
benak", tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di
samping itu, Syi'r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya
lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa
lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra
Syi'r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat
sosiologis.
Para
ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh dari
setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu bisa
terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang
memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah
Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut
dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab Jahiliyyah itu
yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh
lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal
kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang
bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk
semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan
dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak
dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah
barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya
Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga
jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua
faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila
kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran
ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber
mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit
sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang
luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang
luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti
Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab
boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka
segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan
Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan
rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada
kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah
bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan
mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku
akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak
buahnya saja.
Sumber
kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk
ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya
dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat
katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena
dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua
daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang
kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih
sangat terbatas.
Pada
umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan
perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan
perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam
pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota
Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan
dalam perjalanan.
Dan
telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah
setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan
Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang
keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak
dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh
pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke
rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih
nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu'lu' (permata), Wardah
(mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita
akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam
syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang
kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang
berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada
beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada
saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna,
karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu,
nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi'r daripada prosa,
karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di
samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup
di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam
perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal
jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk
mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang
mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari
pengalaman sehari-hari.
Telah
menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri.
Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki
oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan
bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat,
sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal
seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka
berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir
zaman.
Selain
bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam
peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok,
Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal
peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan
bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan
keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman
penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi
mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan
bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi
(imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan
segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang
indah.
Di
sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab
Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
- Bahasa digunakan
sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan
menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga
digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun
menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka
menangkan.
- Bahasa digunakan
untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama
mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan
kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua
mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
- Bahasa digunakan
untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh
anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang
mereka.
Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair
yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya,
kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh
beberapa generasi mendatang.
Demikianlah
seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang.
Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab
terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah
keistimewaan bangsa dan bahasa Arab.
Bahasa
dan kandungan Syi'r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas.
Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi,
dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran.
Meskipun demikian, ada beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang
atau sangat imajiner dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah dengan sangat
padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh
kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner adalah
kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang
penyair. Dari sudut gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama,
ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi
semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya
untuk kepentingan ritme dan sajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar