Sabtu, 20 Agustus 2016

Sejarah Perkembangan Bahasa Arab

Orang Arab sangat mencintai bahasa Arab hingga tingkat mensakralkan. Mereka memandang otoritas yang ada dalam bahasa Arab tidak hanya mengekspresikan kekuatan bahasa, tetapi juga kekuatan mereka. Mengapa demikian? sebab hanya orang Arab yang mampu menguasai bahasa ini dan menaikkannya sampai tingkat ekspresi Bayani yang membedakan mereka dari yang lain. Dari sebab ini tidaklah heran kalau bahasa Arab kaya akan kosakata terutama pada konsep-konsep yang berkenaan dengan kebudayaan dan kehidupan mereka sehari-hari.

Kata Unta, Kuda, Pasir, Kurma dan Tenda, misalnya, memiliki puluhan bahkan ratusan kosakata untuk mengungkapkan jenis, kualitas, kondisi dan jumlahnya. Kecintaan orang Arab akan bahasanya ini, membuat bahasa Arab begitu cepat berkembang. Namun ada banyak faktor lainnya yang mempengaruhi bahasa Arab berkembang sedemikian cepat, yang terpenting di antaranya adalah datangnya Islam. Para pembahas dan ahli linguistik sependapat bahwa peristiwa terpenting dalam sejarah perkembangan bahasa Arab adalah datangnya Islam dan tersebarnya agama Rahmatan LilAlamin ini sampai meluas ke berbagai daerah dari Asia Tengah sampai Afrika Barat.

Kedatangan Islam dan turunnya al-Quran --yang disusul oleh hadits pada beberapa abad kemudian-- yang berbahasa Arab standar menjadikan bahasa Arab sesuatu yang sangat penting dan menarik perhatian pada kalangan masyarakat, terutama para peneliti sosial masyarakat. Baru beberapa saat Islam disampaikan secara terang-terangan, al-Quran telah menggemparkan warga Mekah khususnya, dan orang-orang kafir pada umumnya. Predikat sebagai "Penyair," "Penyihir," "Dukun" serta merta sampai dialamatkan ke haribaan Rasulullah. Tapi, tidak sedikit di antara mereka yang justru masuk Islam karenanya.

Bahasa Arab dalam al-Quran memberikan warna dan pengaruh yang sangat dahsyat pada bahasa Arab yang ada pada saat itu. Tujuh huruf al-Quran yang mempresentasikan bahasa yang ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari itu, telah melambungkan nama Muhammad pada tingkat sedemikian berbeda dari Fuhul dan Rijal Balaghah (jagoan-jagoan bahasa) saat itu. Dan dari sinilah bangsa Arab semakin tercerahkan dalam menyongsong bahasa Arab menuju format yang lebih baik. Sulit dipungkiri, bahwa semakin besar jumlah pemeluk Islam, semakin meluas pula pengaruh bahasa Arab ini hingga menyentuh kehidupan orang-orang awam. Didorong oleh jiwa dan semangat keagamaan yang tinggi, para pemeluk Islam mempunyai kecintaan untuk selalu membaca dan mempelajari al-Quran, baik dalam konteks Taabbud (ibadah) atau sekedar Tilawah (membaca) semata-mata. Berawal dari sini, upaya menjalin-padukan bahasa Arab dengan Islam mulai digagas dan disosialisasikan ke seluruh pelosok negara yang menembus lintas batas wilayah.

Pencetus gagasan dan sosialisasi bahasa Arab ini membawa pengaruh yang sangat besar dan terus menggelinding bak bola salju hingga mencapai wilayah yang jauh sekali. Tentu saja, perkembangan ini sangat menjanjikan bagi masa depan bahasa Arab yang kelak menjadi bahasa agama dan kebudayaan bagi dunia Islam. Sebelum abad tujuh masehi, bahasa Arab adalah "bahasa statis" dan terkungkung oleh batas-batas kesukuan. Ia tidak lain hanya merupakan bahasa orang-orang badui yang bermukim di bagian utara semenanjung Arabia, dan sebagian tersebar di sebagian daerah Syam dan Irak, serta menjadi bahasa bagi penduduk kota-kota di daerah utara semenanjung Arabia.

Namun setelah itu, Islam berkembang dan meluas ke berbagai daerah di semenanjung Arabia, bahkan hingga benua yang berbeda. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab (13-73 H), orang-orang Arab yang mendatangi berbagai negeri baru itu, dilarang untuk memiliki hak kepemilikan tanah di daerah-daerah yang mereka tempati. Sebaliknya mereka diharuskan untuk tinggal dan menetap di perkemahan-perkemahan yang letaknya jauh dari kota. Perkemahan-perkemahan inilah yang kelak menjadi kota baru yang bercorak Islam seperti Basrah, Kufah, dan Fustat. Dan inilah yang menjadi sebab menguatnya kesatuan bahasa Arab sejalan dengan semakin berkurangnya kebiasaan berbahasa yang semula dibawa dari masing-masing kabilah.

Bahasa Arab Pada Zaman Bani Umayah
Pada masa kekuasaaan Bani Umayah, terjadilah perubahan sosial yang sangat dramatis dalam tubuh masyarakat Islam. Orang-orang Arab (pendatang) mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok sosial ini semakin hari semakin bercampur. Pada saat yang bersamaan, penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa Arab.

Alasan mereka setidaknya untuk dapat saling mengerti dan memahami dalam komunikasi dengan orang-orang Arab yang bahasanya masih asing bagi mereka. Maka, terbentuklah persatuan dua kelompok yang masing-masing memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial. Penduduk Mesir yang tadinya berbahasa koptik Mesir, mulai mempelajari --secara langsung-- bahasa Arab. Demikian juga penduduk Syam dan sebagian Irak yang berbicara dengan bahasa Aramia, penduduk Maroko dan Afrika Utara yang menggunakan bahasa Barbar, penduduk Iran dan sebagian Irak yang menggunakan bahasa Iran (persi), semua mengalami masa-masa terjadinya sosialisasi bahasa Arab.

Pada saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa Arab yang fasih ( Arab standar) menunjukkan ketinggian martabat sosial dan kelas tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya, kalangan pejabat dan penguasa pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan mereka dengan bahasa yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan. Tidak cukup dengan itu, mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi mereka ke wilayah yang dihuni masyarakat Badui di Hijaz.

Anak-anak mereka sengaja dikirim ke Badui untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab yang masih bersih. Maka jelaslah, bahwa sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriyah, bahasa Arab sudah mencapai dan menduduki posisi sedemikian tinggi, terhormat dan sangat kuat di wilayah-wilayah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi. Pada masa Daulah Umayah inilah proses "Arabisasi" berjalan lancar melalui penyebaran Islam. Pada masa ini pula ditata rapi administrasi professional dan dengan sendirinya bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara Islam. Orang-orang pribumi yang ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk fasih berbahasa Arab, dan ini merupakan langkah positif yang cukup massif. Tapi satu hal yang tidak bisa dilewatkan, adalah bahwa antusiasme mereka mempelajari bahasa Arab adalah karena dorongan agama. Islam yang baru saja mereka peluk, secara tidak memaksa memotivasi mereka untuk mendalami al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab.

Dalam tingkat perkembangan selanjutnya, bahasa Arab memasuki masa-masa pertarungan yang sangat sulit dengan bahasa-bahasa asli yang sudah hadir di daerah-daerah yang memeluk Islam itu. Pertarungan itu berlangsung lama dan tidak selesai dalam satu generasi. Setelah hampir dua abad berlangsung, bahasa Arab menghirup udara tenang karena ia sudah menjadi bahasa dominan di seluruh pelosok daerah yang sudah dimasuki bahasa Arab. Beberapa abad setelah itu, pertarungan pun berakhir, bahasa Arab berhasil mendesak, bahkan menggantikan bahasa Persia, Aramia, Barbar, Yunani, Koptik di negeri-negeri yang ditaklukan oleh Islam. Namun demikian, perkembangan ini tidak berjalan mulus.
Percampuran yang tidak terbendung dari dua kelompok (pendatang dan pribumi) ini tidak bisa menghindarkan perkawinan di antara anggota kelompok yang berbeda ini. Generasi-generasi yang lahir dari perkawinan ini ternyata kurang menguasai bahasa Arab dengan baik. Hal ini ditambah dengan mengendurnya semangat berbahasa Arab di lingkungan keluarga pejabat/penguasa. Hal inilah yang kemudian mengundang keprihatinan tokoh-tokoh intelektual muda untuk melakukan gerakan pemurnian bahasa Arab. Tokoh-tokoh intelektual muda itu merupakan kolaborasi Arab-Non Arab. Salah satu peran besar yang diukir pemerintahan Bani Umayyah, lewat gerakan ini adalah penggunaan bahsa Arab sebagai media bahasa karang mengarang (karya tulis). Banyak buku-buku berkualitas tinggi dengan kedalaman ilmu yang luar biasa berhasil diterbitkan pada masa itu. Padahal, sebelum Bani Umayah berkuasa, bahasa Arab hanya digunakan sebatas untuk syair dan peribahasa (Amtsal) selain dalam al-Quran.

Ibnu Muqaffa, (wafat 142 H) adalah salah seorang ulama terkemuka yang termasuk pertama kali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa karang mengarang dalam buku-buku yang ia tulis. Dengan demikian, penggunaan bahasa Arab memasuki babak baru, yakni dunia pustaka karena bahasa Arab tidak lagi hanya sebatas bahasa syir. Bidang ilmu lainnya yang lahir, tumbuh dan berkembang pada masa Daulah Umayyah adalah ilmu Arudh yang dibadani oleh Khalil bin Ahmad, di tangan beliaulah lahir wazan-wazan syair Arab semisal, Thawil, Khofif, Rajaz, Basith, Kamil dan lain-lain. Dalam hal ini ilmu semantik yang menjadi bagian ilmu bahasa mulai berkembang.

Bahasa Arab Pada Zaman Bani Abbasiyyah 
Walaupun pemerintahan Bani Umayyah yang berasal dari keturunan bangsa Arab telah runtuh, namun fungsi dan peranan bahasa Arab tidak ikut jatuh. Bahasa Arab tetap berperan dan menempati posisi yang sangat penting sebagaimana mula awalnya meskipun zaman dinasti Bani Abbasiyah --menurut sejarawan Islam-- menang dan menggambarkan kemenangan orang-orang Persia atas Bani Umayyah yang berasal dari bangsa Arab. Pernyataan ini didasarkan atas bukti bahwa sebagian menteri dan panglima militer adalah orang-orang Persia atau ketrurunan orang-orang Persia.

Seluruh Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian serius kepada bahasa Arab. Kecintaan terhadap bahasa Arab didasarkan pada kecintaan mereka terhadap Islam. Doktrin-doktrin al-Quran dan hadits tentang pentingnya bahasa Arab betul-betul mengisi dada dan otak mereka sehingga mengalahkan cinta kesukuan dan premordialitas semu terhadap hal-hal lain di luar motif agama. Kalau di zaman Bani Umayyah, para pejabat mengirim anak-anak dan generasi mereka ke Badui untuk mendalami dan menguasai bahasa yang masih bersih dan belum tercemari bahasa-bahasa luar, maka pada zaman Bani Abbasiyah ini berbeda. Justru orang Arab Baduilah yang diundang hadir ke istana untuk mengajarkan bahasa Arab kepada anak-anak dan keluarga para khalifah. Hal itu didasarkan pada kehendak para khalifah untuk memberikan hidup bahagia dan fasilitas istana bagi putra putri mereka. Pada zaman Bani Abbasiyah ini, gerakan pemurnian bahasa Arab terus berjalan.

Hal ini lahir karena bahasa Arab sempat merosot ke tingkat sangat rendah ketika terjadi proses percampuran orang-orang Arab dengan penduduk lokal yang baru masuk Islam. Pada saat itu bahasa Amiyah (The Colluquial Arabic, Al-Arabiyah al Amiyah) sebagai campuran bahasa ( Arabiyah Muwalladah) antara kelompok dua bahasa yang berbeda tadi menjadi tren bahasa kelas menengah dan rendah bahkan kaum terpelajar.

Pada tahap selanjutnya, bahasa Arab Amiyah atau al- Muwalladah tersebut kemudian berubah menjadi bahasa percakapan dan alat komunikasi yang akhirnya berbeda jauh dengan bahasa Arab Fusha dalam beberapa hal. Misalnya perbedaan yang menyangkut segi tata bunyi ( Al-Ashwat, Fonologi), bentuk kata (Al-Sharf, Morfologi), tata kalimat (Al-Nahwu, Sintaksis), maupun kosakata (Al-Mufradat, Vokabulari). Gerakan pemurnian ini dibantu oleh para khalifah dan para pejabat Bani Abbasiyah sehingga berjalan lancar. Khalifah, para menteri dan pejabat-pejabat Bani Abbasiyah sering menyelenggarakan forum-forum ilmiyah di istana. Misalnya, pertemuan antara Sibawaih (wafat 177 H) dan al-Kisai (wafat 189 H) yang dihadiri langsung oleh khalifah Harun al-Rasyid seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu.

Namun sejak pertengahan abad dua sampai awal abad tiga Hijriyah, terjadi pertarungan antara bahasa Arab Fusha dengan bahasa Arab Amiyah. Bahasa Arab Fusha yang digawangi orang-orang Arab Badui, yang tidak henti-hentinya didatangkan ke pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berhadapan dengan bukan hanya orang-orang awam yang memang menggunakan bahasa Amiyah ini dalam pergaulan sehari-hari, tapi juga dengan terbitnya buku-buku ilmiah yang ditulis dengan bahasa Arab yang kurang murni karena mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab Muwalladah. Tidak hanya itu, pada masa ini salah seorang menteri, Ismail Ibnu Bulbul dan para pejabat tinggi kerajaan juga berbicara dengan menggunakan bahasa Arab Amiyah. Keadaan yang lebih menyedihkan adalah para ahli Nahwu yang seharusnya teguh untuk mempertahankan bahasa Arab Badui pun pada akhir abad tiga Hijriyah turut menggunakan bahasa Arab Amiyah dalam percakapan biasa. Tapi harapan pun tumbuh ketika buku-buku yang memakai bahasa Arab Badui diterbitkan untuk mengoreksi dan meluruskan penggunaan kosakata yang salah yang digunakan dalam buku-buku berbahasa Arab Fusha. Dan sejak saat itu bahasa Arab tidak hanya dipelajari secara Listening (didengar langsung) dari orang-orang Badui, tapi juga sudah menjadi mata ajar yang dapat dipelajari melalui buku-buku.

Abad kecemerlangan bahasa Arab di zaman Khilafah Abbasiyah adalah abad ke empat. Hal itu selain disebabkan terbitnya buku-buku berbahasa Arab, juga karena masa itu hampir tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa Arab dengan mengunjungi guru-guru bahasa Arab badui. Bahasa Arab sudah cukup dipelajari dari buku-buku yang setiap saat bertambah dan dipublikasikan.

Beberapa buku yang sudah terbit masa itu, antara lain , Jawahir Al-Lafdz yang ditulis Qudamah ibn Jafar dan Alfadz Al-Kitabiyah yang ditulis Yaqub al- Sakit al – Jamhi. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab badui sudah tidak lagi menjadi sandaran ketergantungan penguasa dan rakyat karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain bahasa Arab abad ini sudah menjadi bahasa yang mantap karena ia sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Hal ini memunculkan tuntutan bagi lahirnya kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang baru yang tidak dapat dinyatakan oleh bahasa masyarakat Arab Badui dengan kosakata dan gaya bahasa yang sangat terbatas dan hanya mampu mencerminkan alam kehidupan bersahaja di padang pasir.

Namun demikian, bahasa Arab Badui tidak semuanya ditinggalkan, masih ada sebagian kecil dari para penyusun kamus yang masih berminat melakukan pengamatan ke pedalaman gurun sahara dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan, baik kata-kata ataupun gaya bahasa yang langsung diperoleh dari lingkungan Badui.

Mahmud al-Azhar, misalnya (wafat 370 H) berhasil menyusun sebuah kamus fenomenal Al-Lughat Tahdzib. Hal inilah yang membuat bahasa Arab di Persia dan Irak, kala itu menjadi bahasa dengan tingkat tertinggi karena penduduk setempat mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh serta mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk dapat menguasai bahasa Arab asli dengan baik dibanding kawasan-kawasan dan negeri-negeri lain seperti Syam, Mesir, Afrika Utara dan Andalusia.

Uniknya, bahasa Arab Fusha, dengan dialek-dialek yang berbeda-beda tadi, masih tetap mempersatukan daerah-daerah tersebut dan digunakan oleh ulama, sastrawan dan para cendikiawan. Bahkan bahasa Arab Fusha ini terus digunakan sampai negeri-negeri tadi telah berdaulat dan berdiri sendiri. 

(Oleh : Asep M. Tamam/Dosen Pendidikan Bahasa Arab Cipasung/copast:http://arabionline.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perkembangan-bahasa-arab.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Soal Olimpiade Bahasa Arab Tahun 2019

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Internasional. Satu dari enam bahasa resmi yang digunakan dalam organisasi Perserikatan Bangsa-ba...