Salah
satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab
dalam bahasa Indonesia, adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari beberapa
kata itu telah dihapus akibat proses pembaruan bahasa Indonesia, di
mana sebagian kata telah melalui suatu proses buatan. Selama proses
pembaruan atau standardisasi atau kodifikasi ini, komite bahasa dan
lainnya memutuskan mana yang semestinya dianggap tepat dan mana yang
tidak.
Pesantren
mungkin juga mempunyai peran penting, karena justru sekolah ini
mengajarkan bahasa Arab kepada mereka yang menetap di Indonesia. Sebagai
akibatnya, banyak kata mengalami perubahan dan sejumlah bentuk pun
telah hilang. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam
berbagai dialek Melayu, seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya
tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.
Kata-kata
bahasa Arab, yang diserap dalam bahasa Indonesia melalui berbagai
bahasa daerah di kepulauan Indonesia, seperti bahasa Jawa atau Sunda,
atau dialek Melayu, seperti Betawi, berubah menjadi suatu wujud baru
bahasa Arab klasik dan mengalami suatu proses re-arabisasi atau umumnya
telah hilang sama sekali. Jika kata-kata ini dibawa oleh pedagang Arab,
masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu
paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena para
pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan
bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain dalam bahasa ibu
mereka.
Mereka
bahkan biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik. Hal ini
akan agak berbeda apabila para guru Islam turut berperan. Mengingat
sebagian besar kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk
yang klasik, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kata-kata
tersebut masuk di kepulauan Indonesia, terutama lewat orang-orang yang
menguasai bahasa Arab tulisan dan yang biasanya tidak menggunakan bahasa
kolokial, yaitu guru dan ulama Islam (yang berasal dari Arab, Persia,
Indonesia, dan daerah lainnya) di pesantren, masjid, dan sebagainya
serta mungkin juga lewat para penyusun kamus. Namun, terbukti juga
adanya temu muka langsung dengan para pedagang Arab yang menggunakan
bahasa kolokial.
Sebagian
besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apa pun, yang
bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang
klasik. Namun, Kees Versteegh (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta‘ (Arab = jamal, Mesir = gamal)” dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba). ”
Sehubungan
dengan kemungkinan latar belakang Mesir ini, perlu dicatat bahwa
menurut beberapa sumber, pedagang dari Kairo sudah mulai aktif di Jawa
paling tidak pada abad ke-11. Namun, perlu dicatat bahwa kata-kata yang
digunakan sebagai contoh oleh Versteegh sama sekali tidak digunakan
dalam bahasa Indonesia modern. Kata yang biasanya digunakan untuk jamal
dalam bahasa Indonesia adalah unta. Selain itu, jumlah contoh yang
diberikan di sini begitu kecil (hanya tiga, dua di antaranya sudah usang
atau tak dikenal). Sehingga, sulit untuk menguatkan tesis bahwa
kata-kata seperti itu diserap dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Arab
kolokial, entah itu dari Mesir, Hadramaut, atau daerah lainnya.
Akhir
kata, pengaruh bahasa Arab Hadramaut terhadap proses penyerapan kata ke
dalam bahasa Indonesia, sebaiknya jangan dianggap mempunyai dampak yang
besar, karena sebagian besar generasi baru masyarakat keturunan
Hadramaut di Indonesia juga sudah tidak menguasai lagi bahasa Arab,
akibat adanya perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Mereka
sebagian besar mengikuti bahasa ibu mereka yang keturunan Indonesia.
Saya belum berhasil menemukan bahasa kolokial khas Hadramaut, walaupun
telah menemukan beberapa jejak bahasa Arab kolokial yang berasal dari
Semenanjung Arab.
Dalam
bahasa Indonesia modern, nama untuk hari Rabu tidak saja memperlihatkan
latar belakang kolokial, tetapi juga regional. Di Yaman dan beberapa
bagian daerah di Arab Saudi (namun tidak di Oman), Selasa dan Rabu
disebut thaluuth dan rabuu’. Rabuu‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Rabu.
Nama-nama hari lainnya dalam bahasa Indonesia Hari Ahad [bahasa Arab: Yawm al-Ahad], Senin [al-Ithnayn], Selasa [al-Thalatha'], Kamis [al-Khamis], Jumat [al-Jum'ah],dan Sabtu [al-Sabt]
mendekati bentuk kata Arab klasik dan tidak memperlihatkan pengaruh
dialek apa pun kecuali Senin, yang berbeda dengan Rabu, tidak diketahui
jelas daerah asalnya. Bentuk alternatif Isnin, juga ditemukan di beberapa kamus, lebih dekat dengan Arab klasik (Yawm al-Ithnayn).
Saya tidak (atau belum) menemukan contoh jelas lainnya dari bahasa Arab kolokial dalam bahasa resmi Indonesia kecuali kata khalas (selesai),
yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tanpa konotasi kolokial.
Namun demikian, berbagai contoh bahasa Arab kolokial dapat ditemukan
dalam bahasa Melayu kolokial. Dalam bahasa Betawi juga terdapat beberapa
contoh. Dalam Glosari Betawi karya Ridwan Saidi (2007), saya menemukan
berbagai kata serapan Arab yang khas kolokial (tidak klasik). Misalnya:
kata syuf (lihat!) adalah khas kata Arab kolokial. Contoh lain adalah fulus (uang, juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kolokial), halas (telah tercantum sebagai khalas dan juga diterima dalam bahasa Indonesia resmi) dan ta’al(datang!).
Ada
juga kata serapan Arab yang dalam bahasa Arab sendiri tidak termasuk
kolokial, namun ditolak dalam bahasa Indonesia standar karena kata-kata
tersebut dianggap sebagai kata kolokial dalam bahasa Indonesia. Dalam
bahasa Betawi, misalnya, terdapat tajir (dalam bahasa Arab berartipedagang), sedangkan di sini artinya adalah `sangat kaya‘.
Kamus besar bahasa Indonesia umumnya tidak memuat kata-kata seperti
itu, mungkin karena kata-kata itu dianggap sebagai bahasa kolokial
Indonesia atau bahasa gaul.
Nafsu dan salju: akhiran semu klasik
Sejumlah akademisi menyimpulkan bahwa akhiran -u
dalam kata serapan Arab pada Bahasa Indonesia, seperti nafsu dan salju
merupakan tinggalan dari akhiran dalam tata bahasa Arab klasik. Dalam
artikelnya, The Arabic component of the Indonesian lexicon (2003), Kees
Versteegh mengemukakan, ”Sebuah kasus istimewa adalah kata
berakhiran -u/-i seperti napsu (bahasa Arab: nafs), salju/salji (bahasa
Arab: talj), waktu (bahasa Arab: waqt), wahi/wahyu (bahasa Arab: wahy),
abdi/abdu (bahasa Arab: `abd), rejeku/rejeki/rezeki (bahasa Arab: rizq).”
Beberapa
dari kata ini mungkin baru-baru ini saja dipinjam oleh kaum terpelajar,
yang mengenal bahasa Arab dan mencoba untuk menirukan bentuk akhiran
Arab ini. Ini diterapkan misalnya pada salju dan hampir pasti pada
wahyu. Namun, kita jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa
kata ini yang berasal dari bentuk kuno dari kata serapan berakhiran -u, merupakan cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu > -o, -u.
Dalam hal kata napsu, misalnya, arti dalam bahasa Indonesianya mungkin
berasal dari kata nafsu-hu dengan dugaan penafsiran dari `[itu]
pikirannya, maksudnya’.
Dalam hal kata perlu, contoh ini mungkin memberikan penjelasan untuk gramatikalisasi dari fardu-hu ‘[itu] tugasnya’ > ‘ia harus‘.
Bentuk kata serapan fardu, yang tidak mengalami perkembangan ini,
tetapi hanya mempunyai arti `kewajiban moral’, mungkin memperoleh
akhirannya sebagai akibat dari re-arabisasi baru-baru ini. Berdasarkan
Versteegh, Stuart Campbell menyampaikan pendapat yang sama dan bahkan
menguraikan tentang jalur India Selatan (South Indian connection) dalam
artikelnya Indonesian/Malay (Encyclopedia of Arabic Language and
Linguistics ): ”Sejumlah kata serapan berakhiran -u dan/atau -i,
misalnya napsu/nafsu < nafsu, perlu, wahyu, salju/salji. Sementara
beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa akhiran -u merupakan bukti
adanya pengaruh India Selatan, Versteegh (2003) mempunyai penjelasan
yang lebih meyakinkan, misalnya usaha yang polos untuk menirukan bentuk
akhiran atau cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu.”
Perlu
dicatat di sini bahwa konsep `kepolosan’ ini bukan diperkenalkan oleh
Versteegh, melainkan tambahan oleh Campbell. Menurut saya, petunjuk dari
bentuk akhiran ini tidak ditemukan dalam kata asli bahasa Arab, tetapi
dalam struktur bahasa penerima. Faktor ini tidak diperhitungkan di sini.
Jika
hal itu dilakukan, penjelasannya akan menjadi lebih sederhana dan
jelas. Bentuk akhiran dalamkata seperti salju dan waktu, semestinya
hanya perlu dilihat sebagai bentuk yang telah disesuaikan dalam struktur
fonologi dan suku kata Melayu dan bahasa Indonesia. Seperti yang
ditulis oleh James Sneddon dalam penelitiannya berjudul The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society
tentang kata serapan awal, ”Bagian (akhir) kata dihilangkan, baik
dengan penambahan vokal, seperti dalam lampu (bahasa Belanda: lamp) dan
pompa (bahasa Belanda pomp). Kata serapan awal terkadang menambahkan sebuah vokal akhir, seperti buku (dari bahasa Belanda: boek).”
Gejala yang sama tampak juga dalam kata serapan bahasa Arab. Contoh lainnya adalah abdu/abdi, ilmu, dan kalbu. Di samping nafsu, kita juga bisa menemukan nafas dan napas, yang juga cocok dengan aturan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.
[1] (born April 1, 1945, in Amsterdam, the Netherlands) is a Middle East scholar, former Dutch Ambassador to Iraq, Egypt, and Indonesia, and author. Van Dam studied Arabic and Political & Social Sciences at the University of Amsterdam (cum laude), where he obtained the degree of Doctor in Literature in 1977. He taught Modern Middle Eastern History at the University of Amsterdam (1970–75). A fully updated edition of his best-known book, The Struggle for Power in Syria, was published recently. He studied Arabic and Indonesian language literature at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar