Sabtu, 28 September 2019

Tata Bahasa Arab Dasar 1

Beberapa Istilah dalam Tata Bahasa Arab

Ketika kita mempelajari tata bahasa Arab terdapat beberapa peristilahan yang sering membingungkan karena kemiripannya dengan istilah yang ada dalam bahasa Indonesia. Jika kita tidak cermat dalam menggunakan dan memahami istilah-istilah tersebut besar kemungkinan menyebabkan kerancuan dalam memahami kaidah tata bahasa arab. Istilah-istilah tersebut antara lain:

1. Kalimah (كلمة) 

Kalimah (كلمة) dalam bahasa arab jika kita terjemahkan dalam bahasa indonesia adalah kata. Banyak diantara para pembelajar tata bahasa arab yang sering rancu menggunakan istilah kalimah dalam. Seakan-akan kalimah dalam bahasa arab sama dengan kalimat dalam bahasa indonesia.

2. Kalimat ( جملة مفيدة)

Kalimat dalam bahasa indonesia sepadan dengan  جملة مفيدة dalam bahasa Arab.  جملة مفيدة adalah susunan kata-kata yang dapat dipahami.  جملة مفيدة minimal terdiri dari dua kata.  جملة مفيدة terbagi menjadi dua yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi'liyyah.

Semoga bermanfaat

Jumat, 27 September 2019

Kesusastraan Arab Jahiliyah


Kesusasteraan Arab Jahiliyyah
1.      Pengantar
Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya mengenai bangsa Arab pada Zaman Jahiliyyah, kita dapat melihat dengan jelas dari hasil karya bangsa Arab yang ada pada masa itu. Sebab hal itu sesuai dengan ungkapan seorang pujangga bahwa sastra adalah cermin kehidupan dari suatu bangsa. Keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah tidak dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat yang telah berkebudayaan tinggi, karena hal itu sangat erat hubungannya dengan keadaan geografis jazirah Arab itu sendiri.
             Keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah sangat sukar untuk berhubungan dengan dunia luar. Sebab faktor yang menghubungkan dengan dunia luar tidak seluas seperti pada zaman lahirnya agama Islam. Faktor utama yang menghalangi bangsa Arab berhubungan dengan dunia luar, bahwa mereka sedikit pun belum mengenal arti persatuan nasional diantara sesama mereka. Sehingga bila ada hubungan dengan dunia luar, hal itu hanya sebatas pada suatu kabilah tertentu saja dan tidak bersifat nasional, seperti bangsa lain.
            Walaupun jazirah Arab pernah dijajah oleh bangsa Persia dan Romawi, namun penjajahan itu tidak dapat menguasai bangsa Arab secara keseluruhannya, dan bangsa Arab selalu berusaha melawan mereka. Oleh karena itu, kedua penjajah itu tidak dapat memaksakan kebudayaan mereka sedikit pun, sehingga bangsa Arab masih tetap mempertahankan kebebasan mereka sendiri. Semua yang diwarisi oleh nenek moyang seperti agama, kebudayaan, kesusastraan, dan ada istiadat mereka masih tetap asli, tidak terpengaruh oleh kebudayaan asing.
            Dari hal di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah mempunyai ciri ke-Araban yang mutlak, jauh dari segala pengaruh kebudayaan dan pemikiran asing.
       Ketandusan alam jazirah Arab merupakan faktor utama yang menyebabkan perekonomian bangsa Arab pada zaman Jahiliyyah sangat sederhana sekali. Di mana ketandusan itu menghalangi mereka untuk bercocok tanam. Demikian juga dengan jalan perdagangan dapat dikatakan sangat sukar, karena belum terjadinya hubungan antar daerah. Ditambah  lagi dengan adanya pemusuhan diantara suku-suku Arab yang satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa jalannya perdagangan tidak dapat selancar seperti yang kita bayangkan. Karena itulah, sumber kehidupan mereka yang termudah adalah dengan jalan merampas kekayaan orang lain dengan cara kekerasan, sehingga seringkali terjadi pertumpahan darah diantara mereka.
            Dari keadaan ekonomi di atas, dapat kita simpulkan pula bahwa kesusastraan Arab pada zaman Jahiliyyah isi dan pemikirannya masih sangat sederhana, dan jauh dari pemikiran yang sukar dijangkau oleh masyarakat pada masa itu. Dengan demikian syair yang dihasilkan pada masa itu jauh lebih indah dari masa sesudahnya. Khususnya syair yang dihasilkan pada zaman Abasiyyah, yang kebanyakan lebih bersandar pada pemikiran yang tinggi dan bahasa yang muluk-muluk. Sedangkan syair pada zaman Jahiliyyah lebih banyak bersandarkan pada kehalusan perasaan dan ketinggian daya khayal daja, karena bentuknya lebih asli dan jauh dari sifat atau khayalan yang palsu.

2.      Batasan Masa Jahiliyah
 Batasan waktu zaman jahiliyah adalah 150 tahun sebelum kedatangan Islam. Selama ini banyak orang memahami bahwa zaman jahiliyah meliputi seluruh waktu dan masa sebelum Islam atau yang disebut masa pra Islam. Tetapi bagi para pengkaji sastra Arab, masa jahiliyah dapat dilacak sampai 150 tahun sebelum kenabian.
Para pengkaji sastra tidak memasuki fase sebelum itu tetapi memfokuskan masa pada 150 tahun sebelum kenabian, suatu masa dimana bahasan Arab mengalami kematangan dan Syi'r jahili lahir menggunakan bahasa periode itu. Al-Jahid mengatakan Syi'r Arab masih berusia muda, yang pertama memperkenalkan Syi'r jahili kepada kita adalah Imru al-Qais ibn Hujr dan Muhalhil ibn Rabi'ah. Kalau kita teliti masa antara Muhalhil dan kedatangan Islam adalah 150 tahun. Karena sebelum fase ini berita-berita tentang Syi'r belum diketahui. Hal ini juga terjadi pada sejarah Arab utara yang masih misteri sejak dikalahkannya kerajaan Arab oleh kerajaan Romawi di Batrah dan Tidmar.
Ada sedikit berita-berita dari peninggalan kerajaan Persia dan Bizantium, dan sedikit prasasti yang ditemukan oleh para ahli kajian Semit, prasasti itu memberitakan tentang kerajaan Gasssasinah di Syam, kerajaan Munadhirah di Hirah dan kerajaan Kindah di utara Nejd, sedangkan berita-berita tentang sejarah sebelum abad keenam belas Masehi sangat terbatas. Berita-berita pasca itu maksudnya adalah berita pada masa Jahiliyah, semakin jelas karena banyaknya berita-berita dan Syi'r-Syi'r tentang raja-raja kerajaan kota-kota di Hijaz khususnya Mekah dan kabilah-kabilah yang mengalami banyak peperangan, karena itu masa Jahiliyah kita batasi 150 tahun sebelum Islam dan masa sebelum itu kita sebut fase jahiliyah pertama dan kita tidak membahasnya (Dhaif, 2001: 39).

Kata Jahiliyah yang kita kenal pada masa sekarang ini bukan berasal dari kata al-jahl, yang merupakan lawan kata dari al-ilm akan tetapi jahiliyah berasal dari kata al-jahl yang berarti angkuh, kasar, marah, yang merupakan lawan kata al-islam yang berarti tunduk, pasrah dan taat kepada Allah yang melahirkan sikap dan akhlak yang mulia. Dalam al-Quran dan hadis serta Syi'r jahiliyah kata jahiliyah dipakai dalam arti tidak patuh, membantah dan marah. Dalam beberapa surat di al-Quran disebutkan:

قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ.

"Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (QS. 2: 67).

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.

"Jadilah Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh" (QS. 7: 199).

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاماً.

"Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan" (QS. 25: 63).

Dalam hadis Nabi diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. berkata kepada Abi Dzar yang mencela seseorang dengan mencaci maki ibunya:

 إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّة

"Sesungguhnya kamu seseorang yang dalam dirimu sikap jahiliyah".

Dalam mu'allaqatnya Amru ibn Kaltsum At-Taghliby berkata:

أَلاَ لا يَجْهَلَنْ أَحَدٌ عَلَيْنَا فَنَجْهَلَ فَوْقَ جَهْلِ اْلجَاهِلِيْنَا

"Tidak ada orang yang menyumpah serampahi kami sehingga kami membalasnya dengan cacian yang lebih hina cacian jahiliyah" (Dhaif, 2001: 39).


3.      Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah


Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.      Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.

Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.

Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.

Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa'alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).

Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan'a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.

Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.

Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. "Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku". Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).

Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi'r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi'r mu'allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi'r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba' juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa'adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.

Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba' berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi'rnya, diantaranya; Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).

2.      Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.

Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).

Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi'r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang pedas. Syi'r-Syi'r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.

4.      Perhatian Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa dan Pengaruhnya dalam kehidupan mereka
 Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan "kemah", alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi'r/syair di samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi'r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi'r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi'r/puisi yang telah "dicatat" dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau "pencatat benak", tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi'r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi'r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja.      
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu'lu' (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi'r daripada prosa, karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
  1. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka menangkan. 
  2. Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya. 
  3. Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang mereka.

Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab. 
Bahasa dan kandungan Syi'r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.



Download Buku-Buku Berbahasa Arab

Belajar bahasa arab atau bahasa asing lainnya membutuhkan beberapa alat bantu baik itu sebagai sumber belajar maupun media untuk mengasah keterampilan berbahasa yang sedang dipelajari. Salah satu sumber belajar adalah buku-buku berbahasa arab. Selain bisa didapatkan dengan membeli di toko atau pembelian secara online, buku-buku berbahasa arab juga bisa didapatkan secara gratis dengan mendownloadnya dari situs-situs yang menyediakannya. Beberapa situs yang menyediakan buku-buku berbahasa arab tersebut antara lain adalah:
1. www.meshkat.net
2. www.waqfeya.com
3. https://sites.google.com/view/easylearnarabic/library
Situs-situs tersebut menyediakan buku-buku berbahasa arab dengan berbagai tema. Selamat belajar
مع النجاح

Selasa, 06 September 2016

ILMU-ILMU BAHASA ARAB

ILMU-ILMU BAHASA            
          Secara umum ilmu bahasa meliputi: (i) fonologi (ilmu mengenai bunyi); (ii) morfologi (ilmu mengenai pembentukan kata); (iii) sintaksis (ilmu mengenai kalimat); dan (iv) semantik (ilmu mengenai makna). Masing-masing cabang ilmu bahasa tersebut memilki satuan bahasa (satuan gramatikal) yang merupakan satuan yang dipakai sebagai dasar analisisnya.
            Fonologi memilki satuan bahasa yang berupa fonem; morfologi memilki satuan bahasa yang berupa morfem dan kata; sintaksis memilki satuan bahasa yang berupa frasa, klausa, dan kalimat. Kecuali tataran fonologi, semua tataran analisis bahasa itu selalu berhubungan dengan makna (semantik).

A.  Fonologi
         Chomsky dan Halle (1968) mengungkapkan bahwa fonologi adalah “piranti penafsir” yang menjembatani struktur luar (surface structure) dengan bentuk fonetisnya. Fonologi merupakan cabang atau tataran ilmu bahasa yang membicarakan mengenai bunyi dan fonem.

  Ruang Lingkup Fonologi
Secara sederhana, materi bidang fonologi dalam kajian ilmu bahasa dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      fonetik dan fonemik;
2)      pengenalan alat ucap;
3)      proses terjadinya bunyi bahasa atau mekanisme ujaran;
4)      klasifikasi bunyi: fonem vokal dan konsonan, fonem kluster dan diftong;
5)      unsur suprasegmental; dan
6)      silabel (suku kata).


B.  Morfologi
            Morfologi merupakan cabang atau tataran ilmu bahasa yang bersama-sama dengan sintaksis termasuk ke dalam gramatika atau tata bahasa. Morfologi berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu kata morphology, yang berarti ilmu tentang morfem. Morfologi awalnya disebut sebagai morphemics, yang diambil dari bahasa Grieka. Istilah morfologi berpadanan dengan kata dalam bahasa Jerman, yakni formenlehre yang dalam bahasa Inggris berarti the study of form.
            Crystal (1992) mendefinisikan morfologi sebagai “the branch of grammar which studies the structure of words” (morfologi merupakan cabang gramatika/ tata bahasa yang mengkaji struktur kata).

  Ruang Lingkup Morfologi
            Ruang lingkup materi pembahasan morfologi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)      morfem dan cara mengidentifikasinya;
2)      morf dan alomorf;
3)      klasifikasi morfem; dan
4)      kata: hakikat, klasifikasi; serta cara pembentukannya;
a.  proses morfologis; dan
b.  morfofenemik.


C.  Sintaksis
          Istilah sintaksis secara langsung terampil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Pateda (1994), menyatakan bahwa sintaksis berasal dari kata Yunani (sun = “dengan” + tattein “menempatkan”). Jadi, kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama menjadi kelompok kata atau kalimat.

  Ruang Lingkup Sintaksis
            Ruang lingkup pembahasan sintaksis meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)      alat sintaksis;
2)      satuan-satuan sintaksis;
3)      jenis dalam satuan-satuan sintaksis; dan
4)      analisis sintaksis.


D.  Semantik
            Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna (‘arti’, yang dalam bahasa Inggris disebut meaning). Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris.
            Istilah semantik berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Prancis yang diserap dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal. Di dalam kedua istilah itu (semantics dan semantique), sebenarnya semantik belum tegas membahas makna sebagai objeknya sebab yang dibahas lebih banyak yang berhubungan dengan sejarahnya.
            Coseriu dan geckeler menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga istilah yang berhubungan dengan semantik, yaitu: (i) linguistic semantics; (ii) the semantics of logicians; dan (iii) general semantics.
           
  Ruang Lingkup Semantik
            Objek semantik ialah makna. Sebagai sebuah disiplin ilmu, semantik memiliki ruang lingkup kajian sebagai berikut:
1)      pengertian semantik;
2)      jenis semantik;
3)      kedudukan semantik dalam semiotik;
4)      hubungan semantik dengan disiplin ilmu lain;
5)      pengertian makna;
6)      jenis-jenis makna;
7)      perubahan makna;
8)      hubungan makna dalam gaya bahasa, peribahasa, dan ungkapan;
9)      hal-hal yang berkait dengan relasi makna, seperti antonim, hiponim, homonim, polisemi, sinonim, dan medan makna; dan
    10)  Cara menganalisis makna

ILMU-ILMU BAHASA ARAB
       Dari aspek cabang ilmu bahasa ‘arab dari berbagai referensi yang ada para sastrawan ‘arab menyimpulkan ada sekitar 13 cabang ‘ilmu bahasa ‘arab yang mereka sebut sebagai ‘ulumul ‘arabiayah : 

1.Ilmu lughah 
          Obyek ilmu lughah adalah kata-kata (lafadz) arab bersamaan dengan maknanya. Dengan pengetahuan ini, orang akan dapat mengetahui asal kata dan seluk beluk kata. Tujuan ilmu ini untuk membrikan pondasi dalam percakapan, pidato, surat-menyurat, sehingga seseorang dapat berkata-kata dengan baik dan menulis dengan baik pula. Rata-rata Imam mazhab besar memang ahli membuat sya’ir, semisal Imam syafi’I dalam Diwan Asy-Syafi’i yang berjudul حب النساء :

2.Ilmu nahwu
        Obyek ilmu nahwu adalah hukum-hukum huruf, kata, dan kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah kata. Inti dari ‘ilmu nahwu adalah ‘irab. Dengan kaidah-kaidah ini orang dapat mengetahui Arab baris akhir kata (kasus), kata-kata yang tetap barisnya (mabni), kata yang dapat berubah ( mu’rab). Tujuanya adalah untuk menjaga kesalahan-kesalahan dalam mempergunakan bahasa , untuk menghindarkan kesalahan makna dalam rangka memahami AI-Quran dan Hadist, dan tulisan-tulisan ilmiah atau karangan. Dalam tata bahasa/ sintaksis Arab, dikenal istilah Fi’iil dan Harf, jumlah Islamiyah dan Fi’liyah serta Syibhul al jumlah.

3.Ilmu Sharaf (morfologi Arab) 
         Obyek Ilmu Sharaf adalah bentuk kata dan perubahan bentuk kata atau turunan yang biasa disebut tashrif.

4.Ilmu Isytiqaq
         Obyek Ilmu isytiqaq adalah pengetahuan tentang asal kata dan pemecahannya, tentang imbuhan pada kata (hampir sama dengan ilmu Sharaf).

5.Ilmu ‘arudh
        Obyek ilmu 'arudl adalah hal-hal yang berkaitan dengan karya sastra syair dan puisi. llmu Arudh memberitahukan tentang wazan-wazan (timbangan) syair dan tujuanya adalah untuk membedakan proses dalam puisi membedakan syair dan bukan syair .Dengan ilmu arudh ini dikenal bahar syair seperti berikut ini : bahar thawi, bahar madid, bahar basith, bahar wafir, bahar kamil, bahar hijaz, bahar rozaz, bahar sari’ bahar munsarih, bahar khafif, bahar mudhari, bahar muqradmib, bahar mujtas, bahar mutaqarib, bahar Romawi dan bahar mutadarik.

6.Ilmu Qawafi
         Obyek ilmu qawafi adalah suku terakhir kata dari bait-bait syair sehingga diketahui keindahan syair. Yang memprakarsai adanya Qawafi ialah Muhallil bin Rabi’ah paman Amruul Qaisy.

7.llmu Qardhus Syi’ri
         Obyek ilmu ini adalah karangan yang berirama (lirik), dengan tekanan suara yang tertentu. Gunanya untuk membantu menghafalkan syair dan mempertajam ingatan pembaca syair.

8.Ilmu khat/imla
        Obyek ilmu ini adalah pengetahuan tentang huruf dan cara merangkaikannya, termasuk bentuk halus kasarnya dan seni menulis dengan indah dapat dibedakan dalam beberapa bentuk mulai dari khat tsulus, Diwan, Parsi dan khat nasakh. Penemu pertama ilmu khat adalah nabi Idris karena beliaulah yang pertama kali menulis dengan kalam. 

9.Ilmu Insyak
        Obyek ilmu ini adalah pengetahuan tentang tata cara menyusun surat, buku, pidato, cerita artikel, features dan sebagainya. Gunanya untuk menjaga jangan sampai salah dalam dunia karang-mengarang.

10.Ilmu Mukhadarat
      Obyek ilmu ini adalah pengetahuan tentang cara-cara memperdalam suatu persoalan, untuk diperdebatkan didepan majlis, untu menambah keterampilan berargumentasi, mahir bertutur dan terampil mengungkapkan cerita.

11.Ilmu Badi’
         Obyek ilmu ini adalah pengetahuan, tentang seni sastra, Penemu imu ini adalah Abdullah bin Mu’taz. llmu ini ditujukan untuk menguasai seluk beluk sastra sehingga memudahkan seseorang dalam meletakkan kata- sesuai tempatnya sehingga kata-kata tadi berlin bertelindan dengan indah, sedap didengar dan mudah diucapkan.

12.Ilmu Bayan
         Obyek ilmu ini adalah beberapa peraturan dan kaedah untuk mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat penemunya adalah Abu Ubaidah yang menyusun pengetahuan ini dalam “Mujazu Al-Quran” kemudian berkembang pada imam Ahu T ,qahir disempurnakan oleh pujangga-pujangga Arab lainnya seperti AI-Jahiz, .lbnu Mu’taz, Qaddamah dan Abu Hilal Al- Asikari. Dengan ilmu ini akan diketahui rahasia bahasa arab dalam prosa dan puisi, keindahan sastra Al-Quran dan Hadist Tanpa mengetahui ilmu ini seseorang tidak akan dapat menilai apalagi memahami isi al Quran dan Sabda nabi dengan sesungguhnya.

13.Ilmu Ma’ani
         Obyek ilmu ini adalah pengetahuan untuk menentukan beberapa kaedah untuk pemakaian kata sesuai dengan keadaan (situasi dan kondisi) dalam istilah disebutkan “Muthabiq Lil /muqtadhal Hali” tujuannya untuk mengetahui I’jaz Al-Quran, keindahan sastra Al-Quran yang tiada taranya.

BAHASA

A.      Pengertian Bahasa

Kata "bahasa" menurut wikipedia berasal dari bahasa Sanskerta "भाषा" (bhāṣā) adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk dipergunakan bertutur dengan manusia lainnya dengan tanda, misalnya kata dan gerakan. Kajian ilmiah terhadap bahasa disebut dengan linguistik. Perkiraan jumlah dari bahasa-bahasa di dunia beragam antara 6.000-7.000 bahasa.
 
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi.[1]

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’.

B.       Karakteristik Bahasa

Telah disebutkan di atas bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
  • Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.
Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi ituBahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
  • Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
  • Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.

C.      Fungsi-Fungsi Bahasa
Konsep bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topic, kode dan amanat pembicaraan.[2]
  • Fungsi Personal atau Pribadi
Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedang sedih, marah atau gembira.
  • Fungsi Direktif
Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.
  • Fungsi Fatik
Bila dilihat segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut jika tidak disertai unsure paralinguistik tidak mempunyai makna.Fungsi Referensi
Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya.
  • Fungsi Metalingual atau Metalinguistik
Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti ekonomi, pengetahuan dan lain-lain. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.
  • Fungsi Imajinatif
Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginasi ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng dan sebagainya) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.

[1] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal 11
[2] Ibid, hal 15

Minggu, 21 Agustus 2016

Mengapa Belajar Bahasa Arab ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)
  Dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.
Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)
‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Sumber: http://muslimah.or.id/

Kata Serapan Arab dalam Bahasa Indonesia

Salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses pembaruan bahasa Indonesia, di mana sebagian kata telah melalui suatu proses buatan. Selama proses pembaruan atau standardisasi atau kodifikasi ini, komite bahasa dan lainnya memutuskan mana yang semestinya dianggap tepat dan mana yang tidak.
Pesantren mungkin juga mempunyai peran penting, karena justru sekolah ini mengajarkan bahasa Arab kepada mereka yang menetap di Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak kata mengalami perubahan dan sejumlah bentuk pun telah hilang. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu, seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.
Kata-kata bahasa Arab, yang diserap dalam bahasa Indonesia melalui berbagai bahasa daerah di kepulauan Indonesia, seperti bahasa Jawa atau Sunda, atau dialek Melayu, seperti Betawi, berubah menjadi suatu wujud baru bahasa Arab klasik dan mengalami suatu proses re-arabisasi atau umumnya telah hilang sama sekali. Jika kata-kata ini dibawa oleh pedagang Arab, masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena para pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain dalam bahasa ibu mereka.
Mereka bahkan biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik. Hal ini akan agak berbeda apabila para guru Islam turut berperan. Mengingat sebagian besar kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang klasik, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kata-kata tersebut masuk di kepulauan Indonesia, terutama lewat orang-orang yang menguasai bahasa Arab tulisan dan yang biasanya tidak menggunakan bahasa kolokial, yaitu guru dan ulama Islam (yang berasal dari Arab, Persia, Indonesia, dan daerah lainnya) di pesantren, masjid, dan sebagainya serta mungkin juga lewat para penyusun kamus. Namun, terbukti juga adanya temu muka langsung dengan para pedagang Arab yang menggunakan bahasa kolokial.
Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apa pun, yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun, Kees Versteegh (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana  j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta‘ (Arab = jamal, Mesir = gamal)” dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba). ”
Sehubungan dengan kemungkinan latar belakang Mesir ini, perlu dicatat bahwa menurut beberapa sumber, pedagang dari Kairo sudah mulai aktif di Jawa paling tidak pada abad ke-11. Namun, perlu dicatat bahwa kata-kata yang digunakan sebagai contoh oleh Versteegh sama sekali tidak digunakan dalam bahasa Indonesia modern. Kata yang biasanya digunakan untuk jamal dalam bahasa Indonesia adalah unta. Selain itu, jumlah contoh yang diberikan di sini begitu kecil (hanya tiga, dua di antaranya sudah usang atau tak dikenal). Sehingga, sulit untuk menguatkan tesis bahwa kata-kata seperti itu diserap dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Arab kolokial, entah itu dari Mesir, Hadramaut, atau daerah lainnya.
Akhir kata, pengaruh bahasa Arab Hadramaut terhadap proses penyerapan kata ke dalam bahasa Indonesia, sebaiknya jangan dianggap mempunyai dampak yang besar, karena sebagian besar generasi baru masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia juga sudah tidak menguasai lagi bahasa Arab, akibat adanya perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Mereka sebagian besar mengikuti bahasa ibu mereka yang keturunan Indonesia. Saya belum berhasil menemukan bahasa kolokial khas Hadramaut, walaupun telah menemukan beberapa jejak bahasa Arab kolokial yang berasal dari Semenanjung Arab.
Dalam bahasa Indonesia modern, nama untuk hari Rabu tidak saja memperlihatkan latar belakang kolokial, tetapi juga regional. Di Yaman dan beberapa bagian daerah di Arab Saudi (namun tidak di Oman), Selasa dan Rabu disebut thaluuth dan rabuu’. Rabuu‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Rabu.
Nama-nama hari lainnya dalam bahasa Indonesia Hari Ahad [bahasa Arab: Yawm al-Ahad], Senin [al-Ithnayn], Selasa [al-Thalatha'], Kamis [al-Khamis], Jumat [al-Jum'ah],dan Sabtu [al-Sabt] mendekati bentuk kata Arab klasik dan tidak memperlihatkan pengaruh dialek apa pun kecuali Senin, yang berbeda dengan Rabu, tidak diketahui jelas daerah asalnya. Bentuk alternatif Isnin, juga ditemukan di beberapa kamus, lebih dekat dengan Arab klasik (Yawm al-Ithnayn).
Saya tidak (atau belum) menemukan contoh jelas lainnya dari bahasa Arab kolokial dalam bahasa resmi Indonesia kecuali kata khalas (selesai), yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tanpa konotasi kolokial. Namun demikian, berbagai contoh bahasa Arab kolokial dapat ditemukan dalam bahasa Melayu kolokial. Dalam bahasa Betawi juga terdapat beberapa contoh. Dalam Glosari Betawi karya Ridwan Saidi (2007), saya menemukan berbagai kata serapan Arab yang khas kolokial (tidak klasik). Misalnya: kata syuf (lihat!) adalah khas kata Arab kolokial. Contoh lain adalah fulus (uang, juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kolokial), halas (telah tercantum sebagai khalas dan juga diterima dalam bahasa Indonesia resmi) dan ta’al(datang!).
Ada juga kata serapan Arab yang dalam bahasa Arab sendiri tidak termasuk kolokial, namun ditolak dalam bahasa Indonesia standar karena kata-kata tersebut dianggap sebagai kata kolokial dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Betawi, misalnya, terdapat tajir (dalam bahasa Arab berartipedagang), sedangkan di sini artinya adalah `sangat kaya‘. Kamus besar bahasa Indonesia umumnya tidak memuat kata-kata seperti itu, mungkin karena kata-kata itu dianggap sebagai bahasa kolokial Indonesia atau bahasa gaul.
Nafsu dan salju: akhiran semu klasik
Sejumlah akademisi menyimpulkan bahwa akhiran -u dalam kata serapan Arab pada Bahasa Indonesia, seperti nafsu dan salju merupakan tinggalan dari akhiran dalam tata bahasa Arab klasik. Dalam artikelnya,  The Arabic component of the Indonesian lexicon (2003), Kees Versteegh mengemukakan, ”Sebuah kasus istimewa adalah kata berakhiran -u/-i seperti napsu (bahasa Arab: nafs), salju/salji (bahasa Arab: talj), waktu (bahasa Arab: waqt), wahi/wahyu (bahasa Arab: wahy), abdi/abdu (bahasa Arab: `abd), rejeku/rejeki/rezeki (bahasa Arab: rizq).”
Beberapa dari kata ini mungkin baru-baru ini saja dipinjam oleh kaum terpelajar, yang mengenal bahasa Arab dan mencoba untuk menirukan bentuk akhiran Arab ini. Ini diterapkan misalnya pada salju dan hampir pasti pada wahyu. Namun, kita jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa kata ini yang berasal dari bentuk kuno dari kata serapan berakhiran -u, merupakan cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu > -o, -u. Dalam hal kata napsu, misalnya, arti dalam bahasa Indonesianya mungkin berasal dari kata nafsu-hu dengan dugaan penafsiran dari `[itu] pikirannya, maksudnya’.
Dalam hal kata perlu, contoh ini mungkin memberikan penjelasan untuk gramatikalisasi dari fardu-hu ‘[itu] tugasnya’ > ‘ia harus‘. Bentuk kata serapan fardu, yang tidak mengalami perkembangan ini, tetapi hanya mempunyai arti `kewajiban moral’, mungkin memperoleh akhirannya sebagai akibat dari re-arabisasi baru-baru ini. Berdasarkan Versteegh, Stuart Campbell menyampaikan pendapat yang sama dan bahkan menguraikan tentang jalur India Selatan (South Indian connection) dalam artikelnya  Indonesian/Malay (Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics ): ”Sejumlah kata serapan berakhiran -u dan/atau -i, misalnya napsu/nafsu < nafsu, perlu, wahyu, salju/salji. Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa akhiran -u merupakan bukti adanya pengaruh India Selatan, Versteegh (2003) mempunyai penjelasan yang lebih meyakinkan, misalnya usaha yang polos untuk menirukan bentuk akhiran atau cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu.”
Perlu dicatat di sini bahwa konsep `kepolosan’ ini bukan diperkenalkan oleh Versteegh, melainkan tambahan oleh Campbell. Menurut saya, petunjuk dari bentuk akhiran ini tidak ditemukan dalam kata asli bahasa Arab, tetapi dalam struktur bahasa penerima. Faktor ini tidak diperhitungkan di sini.
Jika hal itu dilakukan, penjelasannya akan menjadi lebih sederhana dan jelas. Bentuk akhiran dalamkata seperti salju dan waktu, semestinya hanya perlu dilihat sebagai bentuk yang telah disesuaikan dalam struktur fonologi dan suku kata Melayu dan bahasa Indonesia. Seperti yang ditulis oleh James Sneddon dalam penelitiannya berjudul  The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society tentang kata serapan awal, ”Bagian (akhir) kata dihilangkan, baik dengan penambahan vokal, seperti dalam lampu (bahasa Belanda: lamp) dan pompa (bahasa Belanda pomp). Kata serapan awal terkadang menambahkan sebuah vokal akhir, seperti buku (dari bahasa Belanda: boek).”
Gejala yang sama tampak juga dalam kata serapan bahasa Arab. Contoh lainnya adalah abdu/abdi, ilmu, dan kalbu. Di samping nafsu, kita juga bisa menemukan nafas dan napas, yang juga cocok dengan aturan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.



[1] (born April 1, 1945, in Amsterdam, the Netherlands) is a Middle East scholar, former Dutch Ambassador to Iraq, Egypt, and Indonesia, and author. Van Dam studied Arabic and Political & Social Sciences at the University of Amsterdam (cum laude), where he obtained the degree of Doctor in Literature in 1977. He taught Modern Middle Eastern History at the University of Amsterdam (1970–75). A fully updated edition of his best-known book, The Struggle for Power in Syria, was published recently. He studied Arabic and Indonesian language literature at

Soal Olimpiade Bahasa Arab Tahun 2019

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Internasional. Satu dari enam bahasa resmi yang digunakan dalam organisasi Perserikatan Bangsa-ba...