Orang
Arab sangat mencintai bahasa Arab hingga tingkat mensakralkan. Mereka
memandang otoritas yang ada dalam bahasa Arab tidak hanya
mengekspresikan kekuatan bahasa, tetapi juga kekuatan mereka. Mengapa
demikian? sebab hanya orang Arab yang mampu menguasai bahasa ini dan
menaikkannya sampai tingkat ekspresi Bayani yang membedakan mereka dari
yang lain. Dari sebab ini tidaklah heran kalau bahasa Arab kaya akan
kosakata terutama pada konsep-konsep yang berkenaan dengan kebudayaan
dan kehidupan mereka sehari-hari.
Kata
Unta, Kuda, Pasir, Kurma dan Tenda, misalnya, memiliki puluhan bahkan
ratusan kosakata untuk mengungkapkan jenis, kualitas, kondisi dan
jumlahnya. Kecintaan orang Arab akan bahasanya ini, membuat bahasa Arab
begitu cepat berkembang. Namun ada banyak faktor lainnya yang
mempengaruhi bahasa Arab berkembang sedemikian cepat, yang terpenting di
antaranya adalah datangnya Islam. Para pembahas dan ahli linguistik
sependapat bahwa peristiwa terpenting dalam sejarah perkembangan bahasa
Arab adalah datangnya Islam dan tersebarnya agama Rahmatan LilAlamin ini
sampai meluas ke berbagai daerah dari Asia Tengah sampai Afrika Barat.
Kedatangan
Islam dan turunnya al-Quran --yang disusul oleh hadits pada beberapa
abad kemudian-- yang berbahasa Arab standar menjadikan bahasa Arab
sesuatu yang sangat penting dan menarik perhatian pada kalangan
masyarakat, terutama para peneliti sosial masyarakat. Baru beberapa saat
Islam disampaikan secara terang-terangan, al-Quran telah menggemparkan
warga Mekah khususnya, dan orang-orang kafir pada umumnya. Predikat
sebagai "Penyair," "Penyihir," "Dukun" serta merta sampai dialamatkan ke
haribaan Rasulullah. Tapi, tidak sedikit di antara mereka yang justru
masuk Islam karenanya.
Bahasa
Arab dalam al-Quran memberikan warna dan pengaruh yang sangat dahsyat
pada bahasa Arab yang ada pada saat itu. Tujuh huruf al-Quran yang
mempresentasikan bahasa yang ada dan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari itu, telah melambungkan nama Muhammad pada tingkat
sedemikian berbeda dari Fuhul dan Rijal Balaghah (jagoan-jagoan bahasa)
saat itu. Dan dari sinilah bangsa Arab semakin tercerahkan dalam
menyongsong bahasa Arab menuju format yang lebih baik. Sulit dipungkiri,
bahwa semakin besar jumlah pemeluk Islam, semakin meluas pula pengaruh
bahasa Arab ini hingga menyentuh kehidupan orang-orang awam. Didorong
oleh jiwa dan semangat keagamaan yang tinggi, para pemeluk Islam
mempunyai kecintaan untuk selalu membaca dan mempelajari al-Quran, baik
dalam konteks Taabbud (ibadah) atau sekedar Tilawah (membaca)
semata-mata. Berawal dari sini, upaya menjalin-padukan bahasa Arab
dengan Islam mulai digagas dan disosialisasikan ke seluruh pelosok
negara yang menembus lintas batas wilayah.
Pencetus
gagasan dan sosialisasi bahasa Arab ini membawa pengaruh yang sangat
besar dan terus menggelinding bak bola salju hingga mencapai wilayah
yang jauh sekali. Tentu saja, perkembangan ini sangat menjanjikan bagi
masa depan bahasa Arab yang kelak menjadi bahasa agama dan kebudayaan
bagi dunia Islam. Sebelum abad tujuh masehi, bahasa Arab adalah "bahasa
statis" dan terkungkung oleh batas-batas kesukuan. Ia tidak lain hanya
merupakan bahasa orang-orang badui yang bermukim di bagian utara
semenanjung Arabia, dan sebagian tersebar di sebagian daerah Syam dan
Irak, serta menjadi bahasa bagi penduduk kota-kota di daerah utara
semenanjung Arabia.
Namun
setelah itu, Islam berkembang dan meluas ke berbagai daerah di
semenanjung Arabia, bahkan hingga benua yang berbeda. Pada zaman
pemerintahan Umar bin Khattab (13-73 H), orang-orang Arab yang
mendatangi berbagai negeri baru itu, dilarang untuk memiliki hak
kepemilikan tanah di daerah-daerah yang mereka tempati. Sebaliknya
mereka diharuskan untuk tinggal dan menetap di perkemahan-perkemahan
yang letaknya jauh dari kota. Perkemahan-perkemahan inilah yang kelak
menjadi kota baru yang bercorak Islam seperti Basrah, Kufah, dan Fustat.
Dan inilah yang menjadi sebab menguatnya kesatuan bahasa Arab sejalan
dengan semakin berkurangnya kebiasaan berbahasa yang semula dibawa dari
masing-masing kabilah.
Bahasa Arab Pada Zaman Bani Umayah
Pada
masa kekuasaaan Bani Umayah, terjadilah perubahan sosial yang sangat
dramatis dalam tubuh masyarakat Islam. Orang-orang Arab (pendatang)
mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok
sosial ini semakin hari semakin bercampur. Pada saat yang bersamaan,
penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan
untuk mempelajari bahasa Arab.
Alasan
mereka setidaknya untuk dapat saling mengerti dan memahami dalam
komunikasi dengan orang-orang Arab yang bahasanya masih asing bagi
mereka. Maka, terbentuklah persatuan dua kelompok yang masing-masing
memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial. Penduduk Mesir yang
tadinya berbahasa koptik Mesir, mulai mempelajari --secara langsung--
bahasa Arab. Demikian juga penduduk Syam dan sebagian Irak yang
berbicara dengan bahasa Aramia, penduduk Maroko dan Afrika Utara yang
menggunakan bahasa Barbar, penduduk Iran dan sebagian Irak yang
menggunakan bahasa Iran (persi), semua mengalami masa-masa terjadinya
sosialisasi bahasa Arab.
Pada
saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa Arab yang fasih (
Arab standar) menunjukkan ketinggian martabat sosial dan kelas
tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya, kalangan pejabat dan penguasa
pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan mereka dengan bahasa
yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan. Tidak cukup
dengan itu, mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi mereka
ke wilayah yang dihuni masyarakat Badui di Hijaz.
Anak-anak
mereka sengaja dikirim ke Badui untuk mempelajari dan mendalami bahasa
Arab yang masih bersih. Maka jelaslah, bahwa sejak sepertiga akhir abad
pertama Hijriyah, bahasa Arab sudah mencapai dan menduduki posisi
sedemikian tinggi, terhormat dan sangat kuat di wilayah-wilayah yang
menjadikan Islam sebagai agama resmi. Pada masa Daulah Umayah inilah
proses "Arabisasi" berjalan lancar melalui penyebaran Islam. Pada masa
ini pula ditata rapi administrasi professional dan dengan sendirinya
bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara Islam. Orang-orang pribumi yang
ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk fasih berbahasa Arab,
dan ini merupakan langkah positif yang cukup massif. Tapi satu hal yang
tidak bisa dilewatkan, adalah bahwa antusiasme mereka mempelajari bahasa
Arab adalah karena dorongan agama. Islam yang baru saja mereka peluk,
secara tidak memaksa memotivasi mereka untuk mendalami al-Quran dan
hadits yang berbahasa Arab.
Dalam
tingkat perkembangan selanjutnya, bahasa Arab memasuki masa-masa
pertarungan yang sangat sulit dengan bahasa-bahasa asli yang sudah hadir
di daerah-daerah yang memeluk Islam itu. Pertarungan itu berlangsung
lama dan tidak selesai dalam satu generasi. Setelah hampir dua abad
berlangsung, bahasa Arab menghirup udara tenang karena ia sudah menjadi
bahasa dominan di seluruh pelosok daerah yang sudah dimasuki bahasa
Arab. Beberapa abad setelah itu, pertarungan pun berakhir, bahasa Arab
berhasil mendesak, bahkan menggantikan bahasa Persia, Aramia, Barbar,
Yunani, Koptik di negeri-negeri yang ditaklukan oleh Islam. Namun
demikian, perkembangan ini tidak berjalan mulus.
Percampuran
yang tidak terbendung dari dua kelompok (pendatang dan pribumi) ini
tidak bisa menghindarkan perkawinan di antara anggota kelompok yang
berbeda ini. Generasi-generasi yang lahir dari perkawinan ini ternyata
kurang menguasai bahasa Arab dengan baik. Hal ini ditambah dengan
mengendurnya semangat berbahasa Arab di lingkungan keluarga
pejabat/penguasa. Hal inilah yang kemudian mengundang keprihatinan
tokoh-tokoh intelektual muda untuk melakukan gerakan pemurnian bahasa
Arab. Tokoh-tokoh intelektual muda itu merupakan kolaborasi Arab-Non
Arab. Salah satu peran besar yang diukir pemerintahan Bani Umayyah,
lewat gerakan ini adalah penggunaan bahsa Arab sebagai media bahasa
karang mengarang (karya tulis). Banyak buku-buku berkualitas tinggi
dengan kedalaman ilmu yang luar biasa berhasil diterbitkan pada masa
itu. Padahal, sebelum Bani Umayah berkuasa, bahasa Arab hanya digunakan
sebatas untuk syair dan peribahasa (Amtsal) selain dalam al-Quran.
Ibnu
Muqaffa, (wafat 142 H) adalah salah seorang ulama terkemuka yang
termasuk pertama kali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa karang
mengarang dalam buku-buku yang ia tulis. Dengan demikian, penggunaan
bahasa Arab memasuki babak baru, yakni dunia pustaka karena bahasa Arab
tidak lagi hanya sebatas bahasa syir. Bidang ilmu lainnya yang lahir,
tumbuh dan berkembang pada masa Daulah Umayyah adalah ilmu Arudh yang
dibadani oleh Khalil bin Ahmad, di tangan beliaulah lahir wazan-wazan
syair Arab semisal, Thawil, Khofif, Rajaz, Basith, Kamil dan lain-lain.
Dalam hal ini ilmu semantik yang menjadi bagian ilmu bahasa mulai
berkembang.
Bahasa Arab Pada Zaman Bani Abbasiyyah
Walaupun
pemerintahan Bani Umayyah yang berasal dari keturunan bangsa Arab telah
runtuh, namun fungsi dan peranan bahasa Arab tidak ikut jatuh. Bahasa
Arab tetap berperan dan menempati posisi yang sangat penting sebagaimana
mula awalnya meskipun zaman dinasti Bani Abbasiyah --menurut sejarawan
Islam-- menang dan menggambarkan kemenangan orang-orang Persia atas Bani
Umayyah yang berasal dari bangsa Arab. Pernyataan ini didasarkan atas
bukti bahwa sebagian menteri dan panglima militer adalah orang-orang
Persia atau ketrurunan orang-orang Persia.
Seluruh
Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian serius kepada bahasa Arab.
Kecintaan terhadap bahasa Arab didasarkan pada kecintaan mereka
terhadap Islam. Doktrin-doktrin al-Quran dan hadits tentang pentingnya
bahasa Arab betul-betul mengisi dada dan otak mereka sehingga
mengalahkan cinta kesukuan dan premordialitas semu terhadap hal-hal lain
di luar motif agama. Kalau di zaman Bani Umayyah, para pejabat mengirim
anak-anak dan generasi mereka ke Badui untuk mendalami dan menguasai
bahasa yang masih bersih dan belum tercemari bahasa-bahasa luar, maka
pada zaman Bani Abbasiyah ini berbeda. Justru orang Arab Baduilah yang
diundang hadir ke istana untuk mengajarkan bahasa Arab kepada anak-anak
dan keluarga para khalifah. Hal itu didasarkan pada kehendak para
khalifah untuk memberikan hidup bahagia dan fasilitas istana bagi putra
putri mereka. Pada zaman Bani Abbasiyah ini, gerakan pemurnian bahasa
Arab terus berjalan.
Hal
ini lahir karena bahasa Arab sempat merosot ke tingkat sangat rendah
ketika terjadi proses percampuran orang-orang Arab dengan penduduk lokal
yang baru masuk Islam. Pada saat itu bahasa Amiyah (The Colluquial
Arabic, Al-Arabiyah al Amiyah) sebagai campuran bahasa ( Arabiyah
Muwalladah) antara kelompok dua bahasa yang berbeda tadi menjadi tren
bahasa kelas menengah dan rendah bahkan kaum terpelajar.
Pada
tahap selanjutnya, bahasa Arab Amiyah atau al- Muwalladah tersebut
kemudian berubah menjadi bahasa percakapan dan alat komunikasi yang
akhirnya berbeda jauh dengan bahasa Arab Fusha dalam beberapa hal.
Misalnya perbedaan yang menyangkut segi tata bunyi ( Al-Ashwat,
Fonologi), bentuk kata (Al-Sharf, Morfologi), tata kalimat (Al-Nahwu,
Sintaksis), maupun kosakata (Al-Mufradat, Vokabulari). Gerakan pemurnian
ini dibantu oleh para khalifah dan para pejabat Bani Abbasiyah sehingga
berjalan lancar. Khalifah, para menteri dan pejabat-pejabat Bani
Abbasiyah sering menyelenggarakan forum-forum ilmiyah di istana.
Misalnya, pertemuan antara Sibawaih (wafat 177 H) dan al-Kisai (wafat
189 H) yang dihadiri langsung oleh khalifah Harun al-Rasyid seorang
khalifah yang sangat mencintai ilmu.
Namun
sejak pertengahan abad dua sampai awal abad tiga Hijriyah, terjadi
pertarungan antara bahasa Arab Fusha dengan bahasa Arab Amiyah. Bahasa
Arab Fusha yang digawangi orang-orang Arab Badui, yang tidak
henti-hentinya didatangkan ke pusat pemerintahan Bani Abbasiyah
berhadapan dengan bukan hanya orang-orang awam yang memang menggunakan
bahasa Amiyah ini dalam pergaulan sehari-hari, tapi juga dengan
terbitnya buku-buku ilmiah yang ditulis dengan bahasa Arab yang kurang
murni karena mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab
Muwalladah. Tidak hanya itu, pada masa ini salah seorang menteri, Ismail
Ibnu Bulbul dan para pejabat tinggi kerajaan juga berbicara dengan
menggunakan bahasa Arab Amiyah. Keadaan yang lebih menyedihkan adalah
para ahli Nahwu yang seharusnya teguh untuk mempertahankan bahasa Arab
Badui pun pada akhir abad tiga Hijriyah turut menggunakan bahasa Arab
Amiyah dalam percakapan biasa. Tapi harapan pun tumbuh ketika buku-buku
yang memakai bahasa Arab Badui diterbitkan untuk mengoreksi dan
meluruskan penggunaan kosakata yang salah yang digunakan dalam buku-buku
berbahasa Arab Fusha. Dan sejak saat itu bahasa Arab tidak hanya
dipelajari secara Listening (didengar langsung) dari orang-orang Badui,
tapi juga sudah menjadi mata ajar yang dapat dipelajari melalui
buku-buku.
Abad
kecemerlangan bahasa Arab di zaman Khilafah Abbasiyah adalah abad ke
empat. Hal itu selain disebabkan terbitnya buku-buku berbahasa Arab,
juga karena masa itu hampir tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa
Arab dengan mengunjungi guru-guru bahasa Arab badui. Bahasa Arab sudah
cukup dipelajari dari buku-buku yang setiap saat bertambah dan
dipublikasikan.
Beberapa
buku yang sudah terbit masa itu, antara lain , Jawahir Al-Lafdz yang
ditulis Qudamah ibn Jafar dan Alfadz Al-Kitabiyah yang ditulis Yaqub al-
Sakit al – Jamhi. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab badui
sudah tidak lagi menjadi sandaran ketergantungan penguasa dan rakyat
karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara
lain bahasa Arab abad ini sudah menjadi bahasa yang mantap karena ia
sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Hal ini
memunculkan tuntutan bagi lahirnya kata-kata, istilah-istilah,
ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang baru yang tidak dapat dinyatakan
oleh bahasa masyarakat Arab Badui dengan kosakata dan gaya bahasa yang
sangat terbatas dan hanya mampu mencerminkan alam kehidupan bersahaja di
padang pasir.
Namun
demikian, bahasa Arab Badui tidak semuanya ditinggalkan, masih ada
sebagian kecil dari para penyusun kamus yang masih berminat melakukan
pengamatan ke pedalaman gurun sahara dalam rangka mengumpulkan
bahan-bahan, baik kata-kata ataupun gaya bahasa yang langsung diperoleh
dari lingkungan Badui.
Mahmud
al-Azhar, misalnya (wafat 370 H) berhasil menyusun sebuah kamus
fenomenal Al-Lughat Tahdzib. Hal inilah yang membuat bahasa Arab di
Persia dan Irak, kala itu menjadi bahasa dengan tingkat tertinggi karena
penduduk setempat mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh serta
mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk dapat menguasai bahasa Arab
asli dengan baik dibanding kawasan-kawasan dan negeri-negeri lain
seperti Syam, Mesir, Afrika Utara dan Andalusia.
Uniknya,
bahasa Arab Fusha, dengan dialek-dialek yang berbeda-beda tadi, masih
tetap mempersatukan daerah-daerah tersebut dan digunakan oleh ulama,
sastrawan dan para cendikiawan. Bahkan bahasa Arab Fusha ini terus
digunakan sampai negeri-negeri tadi telah berdaulat dan berdiri sendiri.
(Oleh : Asep M. Tamam/Dosen Pendidikan Bahasa Arab Cipasung/copast:http://arabionline.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perkembangan-bahasa-arab.html)