Minggu, 21 Agustus 2016

Mengapa Belajar Bahasa Arab ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)
  Dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.
Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)
‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)
Sumber: http://muslimah.or.id/

Kata Serapan Arab dalam Bahasa Indonesia

Salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses pembaruan bahasa Indonesia, di mana sebagian kata telah melalui suatu proses buatan. Selama proses pembaruan atau standardisasi atau kodifikasi ini, komite bahasa dan lainnya memutuskan mana yang semestinya dianggap tepat dan mana yang tidak.
Pesantren mungkin juga mempunyai peran penting, karena justru sekolah ini mengajarkan bahasa Arab kepada mereka yang menetap di Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak kata mengalami perubahan dan sejumlah bentuk pun telah hilang. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu, seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.
Kata-kata bahasa Arab, yang diserap dalam bahasa Indonesia melalui berbagai bahasa daerah di kepulauan Indonesia, seperti bahasa Jawa atau Sunda, atau dialek Melayu, seperti Betawi, berubah menjadi suatu wujud baru bahasa Arab klasik dan mengalami suatu proses re-arabisasi atau umumnya telah hilang sama sekali. Jika kata-kata ini dibawa oleh pedagang Arab, masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena para pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain dalam bahasa ibu mereka.
Mereka bahkan biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik. Hal ini akan agak berbeda apabila para guru Islam turut berperan. Mengingat sebagian besar kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang klasik, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kata-kata tersebut masuk di kepulauan Indonesia, terutama lewat orang-orang yang menguasai bahasa Arab tulisan dan yang biasanya tidak menggunakan bahasa kolokial, yaitu guru dan ulama Islam (yang berasal dari Arab, Persia, Indonesia, dan daerah lainnya) di pesantren, masjid, dan sebagainya serta mungkin juga lewat para penyusun kamus. Namun, terbukti juga adanya temu muka langsung dengan para pedagang Arab yang menggunakan bahasa kolokial.
Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apa pun, yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun, Kees Versteegh (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana  j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta‘ (Arab = jamal, Mesir = gamal)” dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba). ”
Sehubungan dengan kemungkinan latar belakang Mesir ini, perlu dicatat bahwa menurut beberapa sumber, pedagang dari Kairo sudah mulai aktif di Jawa paling tidak pada abad ke-11. Namun, perlu dicatat bahwa kata-kata yang digunakan sebagai contoh oleh Versteegh sama sekali tidak digunakan dalam bahasa Indonesia modern. Kata yang biasanya digunakan untuk jamal dalam bahasa Indonesia adalah unta. Selain itu, jumlah contoh yang diberikan di sini begitu kecil (hanya tiga, dua di antaranya sudah usang atau tak dikenal). Sehingga, sulit untuk menguatkan tesis bahwa kata-kata seperti itu diserap dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Arab kolokial, entah itu dari Mesir, Hadramaut, atau daerah lainnya.
Akhir kata, pengaruh bahasa Arab Hadramaut terhadap proses penyerapan kata ke dalam bahasa Indonesia, sebaiknya jangan dianggap mempunyai dampak yang besar, karena sebagian besar generasi baru masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia juga sudah tidak menguasai lagi bahasa Arab, akibat adanya perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Mereka sebagian besar mengikuti bahasa ibu mereka yang keturunan Indonesia. Saya belum berhasil menemukan bahasa kolokial khas Hadramaut, walaupun telah menemukan beberapa jejak bahasa Arab kolokial yang berasal dari Semenanjung Arab.
Dalam bahasa Indonesia modern, nama untuk hari Rabu tidak saja memperlihatkan latar belakang kolokial, tetapi juga regional. Di Yaman dan beberapa bagian daerah di Arab Saudi (namun tidak di Oman), Selasa dan Rabu disebut thaluuth dan rabuu’. Rabuu‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Rabu.
Nama-nama hari lainnya dalam bahasa Indonesia Hari Ahad [bahasa Arab: Yawm al-Ahad], Senin [al-Ithnayn], Selasa [al-Thalatha'], Kamis [al-Khamis], Jumat [al-Jum'ah],dan Sabtu [al-Sabt] mendekati bentuk kata Arab klasik dan tidak memperlihatkan pengaruh dialek apa pun kecuali Senin, yang berbeda dengan Rabu, tidak diketahui jelas daerah asalnya. Bentuk alternatif Isnin, juga ditemukan di beberapa kamus, lebih dekat dengan Arab klasik (Yawm al-Ithnayn).
Saya tidak (atau belum) menemukan contoh jelas lainnya dari bahasa Arab kolokial dalam bahasa resmi Indonesia kecuali kata khalas (selesai), yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tanpa konotasi kolokial. Namun demikian, berbagai contoh bahasa Arab kolokial dapat ditemukan dalam bahasa Melayu kolokial. Dalam bahasa Betawi juga terdapat beberapa contoh. Dalam Glosari Betawi karya Ridwan Saidi (2007), saya menemukan berbagai kata serapan Arab yang khas kolokial (tidak klasik). Misalnya: kata syuf (lihat!) adalah khas kata Arab kolokial. Contoh lain adalah fulus (uang, juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kolokial), halas (telah tercantum sebagai khalas dan juga diterima dalam bahasa Indonesia resmi) dan ta’al(datang!).
Ada juga kata serapan Arab yang dalam bahasa Arab sendiri tidak termasuk kolokial, namun ditolak dalam bahasa Indonesia standar karena kata-kata tersebut dianggap sebagai kata kolokial dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Betawi, misalnya, terdapat tajir (dalam bahasa Arab berartipedagang), sedangkan di sini artinya adalah `sangat kaya‘. Kamus besar bahasa Indonesia umumnya tidak memuat kata-kata seperti itu, mungkin karena kata-kata itu dianggap sebagai bahasa kolokial Indonesia atau bahasa gaul.
Nafsu dan salju: akhiran semu klasik
Sejumlah akademisi menyimpulkan bahwa akhiran -u dalam kata serapan Arab pada Bahasa Indonesia, seperti nafsu dan salju merupakan tinggalan dari akhiran dalam tata bahasa Arab klasik. Dalam artikelnya,  The Arabic component of the Indonesian lexicon (2003), Kees Versteegh mengemukakan, ”Sebuah kasus istimewa adalah kata berakhiran -u/-i seperti napsu (bahasa Arab: nafs), salju/salji (bahasa Arab: talj), waktu (bahasa Arab: waqt), wahi/wahyu (bahasa Arab: wahy), abdi/abdu (bahasa Arab: `abd), rejeku/rejeki/rezeki (bahasa Arab: rizq).”
Beberapa dari kata ini mungkin baru-baru ini saja dipinjam oleh kaum terpelajar, yang mengenal bahasa Arab dan mencoba untuk menirukan bentuk akhiran Arab ini. Ini diterapkan misalnya pada salju dan hampir pasti pada wahyu. Namun, kita jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa kata ini yang berasal dari bentuk kuno dari kata serapan berakhiran -u, merupakan cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu > -o, -u. Dalam hal kata napsu, misalnya, arti dalam bahasa Indonesianya mungkin berasal dari kata nafsu-hu dengan dugaan penafsiran dari `[itu] pikirannya, maksudnya’.
Dalam hal kata perlu, contoh ini mungkin memberikan penjelasan untuk gramatikalisasi dari fardu-hu ‘[itu] tugasnya’ > ‘ia harus‘. Bentuk kata serapan fardu, yang tidak mengalami perkembangan ini, tetapi hanya mempunyai arti `kewajiban moral’, mungkin memperoleh akhirannya sebagai akibat dari re-arabisasi baru-baru ini. Berdasarkan Versteegh, Stuart Campbell menyampaikan pendapat yang sama dan bahkan menguraikan tentang jalur India Selatan (South Indian connection) dalam artikelnya  Indonesian/Malay (Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics ): ”Sejumlah kata serapan berakhiran -u dan/atau -i, misalnya napsu/nafsu < nafsu, perlu, wahyu, salju/salji. Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa akhiran -u merupakan bukti adanya pengaruh India Selatan, Versteegh (2003) mempunyai penjelasan yang lebih meyakinkan, misalnya usaha yang polos untuk menirukan bentuk akhiran atau cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu.”
Perlu dicatat di sini bahwa konsep `kepolosan’ ini bukan diperkenalkan oleh Versteegh, melainkan tambahan oleh Campbell. Menurut saya, petunjuk dari bentuk akhiran ini tidak ditemukan dalam kata asli bahasa Arab, tetapi dalam struktur bahasa penerima. Faktor ini tidak diperhitungkan di sini.
Jika hal itu dilakukan, penjelasannya akan menjadi lebih sederhana dan jelas. Bentuk akhiran dalamkata seperti salju dan waktu, semestinya hanya perlu dilihat sebagai bentuk yang telah disesuaikan dalam struktur fonologi dan suku kata Melayu dan bahasa Indonesia. Seperti yang ditulis oleh James Sneddon dalam penelitiannya berjudul  The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society tentang kata serapan awal, ”Bagian (akhir) kata dihilangkan, baik dengan penambahan vokal, seperti dalam lampu (bahasa Belanda: lamp) dan pompa (bahasa Belanda pomp). Kata serapan awal terkadang menambahkan sebuah vokal akhir, seperti buku (dari bahasa Belanda: boek).”
Gejala yang sama tampak juga dalam kata serapan bahasa Arab. Contoh lainnya adalah abdu/abdi, ilmu, dan kalbu. Di samping nafsu, kita juga bisa menemukan nafas dan napas, yang juga cocok dengan aturan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.



[1] (born April 1, 1945, in Amsterdam, the Netherlands) is a Middle East scholar, former Dutch Ambassador to Iraq, Egypt, and Indonesia, and author. Van Dam studied Arabic and Political & Social Sciences at the University of Amsterdam (cum laude), where he obtained the degree of Doctor in Literature in 1977. He taught Modern Middle Eastern History at the University of Amsterdam (1970–75). A fully updated edition of his best-known book, The Struggle for Power in Syria, was published recently. He studied Arabic and Indonesian language literature at

Sabtu, 20 Agustus 2016

Sejarah Perkembangan Bahasa Arab

Orang Arab sangat mencintai bahasa Arab hingga tingkat mensakralkan. Mereka memandang otoritas yang ada dalam bahasa Arab tidak hanya mengekspresikan kekuatan bahasa, tetapi juga kekuatan mereka. Mengapa demikian? sebab hanya orang Arab yang mampu menguasai bahasa ini dan menaikkannya sampai tingkat ekspresi Bayani yang membedakan mereka dari yang lain. Dari sebab ini tidaklah heran kalau bahasa Arab kaya akan kosakata terutama pada konsep-konsep yang berkenaan dengan kebudayaan dan kehidupan mereka sehari-hari.

Kata Unta, Kuda, Pasir, Kurma dan Tenda, misalnya, memiliki puluhan bahkan ratusan kosakata untuk mengungkapkan jenis, kualitas, kondisi dan jumlahnya. Kecintaan orang Arab akan bahasanya ini, membuat bahasa Arab begitu cepat berkembang. Namun ada banyak faktor lainnya yang mempengaruhi bahasa Arab berkembang sedemikian cepat, yang terpenting di antaranya adalah datangnya Islam. Para pembahas dan ahli linguistik sependapat bahwa peristiwa terpenting dalam sejarah perkembangan bahasa Arab adalah datangnya Islam dan tersebarnya agama Rahmatan LilAlamin ini sampai meluas ke berbagai daerah dari Asia Tengah sampai Afrika Barat.

Kedatangan Islam dan turunnya al-Quran --yang disusul oleh hadits pada beberapa abad kemudian-- yang berbahasa Arab standar menjadikan bahasa Arab sesuatu yang sangat penting dan menarik perhatian pada kalangan masyarakat, terutama para peneliti sosial masyarakat. Baru beberapa saat Islam disampaikan secara terang-terangan, al-Quran telah menggemparkan warga Mekah khususnya, dan orang-orang kafir pada umumnya. Predikat sebagai "Penyair," "Penyihir," "Dukun" serta merta sampai dialamatkan ke haribaan Rasulullah. Tapi, tidak sedikit di antara mereka yang justru masuk Islam karenanya.

Bahasa Arab dalam al-Quran memberikan warna dan pengaruh yang sangat dahsyat pada bahasa Arab yang ada pada saat itu. Tujuh huruf al-Quran yang mempresentasikan bahasa yang ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari itu, telah melambungkan nama Muhammad pada tingkat sedemikian berbeda dari Fuhul dan Rijal Balaghah (jagoan-jagoan bahasa) saat itu. Dan dari sinilah bangsa Arab semakin tercerahkan dalam menyongsong bahasa Arab menuju format yang lebih baik. Sulit dipungkiri, bahwa semakin besar jumlah pemeluk Islam, semakin meluas pula pengaruh bahasa Arab ini hingga menyentuh kehidupan orang-orang awam. Didorong oleh jiwa dan semangat keagamaan yang tinggi, para pemeluk Islam mempunyai kecintaan untuk selalu membaca dan mempelajari al-Quran, baik dalam konteks Taabbud (ibadah) atau sekedar Tilawah (membaca) semata-mata. Berawal dari sini, upaya menjalin-padukan bahasa Arab dengan Islam mulai digagas dan disosialisasikan ke seluruh pelosok negara yang menembus lintas batas wilayah.

Pencetus gagasan dan sosialisasi bahasa Arab ini membawa pengaruh yang sangat besar dan terus menggelinding bak bola salju hingga mencapai wilayah yang jauh sekali. Tentu saja, perkembangan ini sangat menjanjikan bagi masa depan bahasa Arab yang kelak menjadi bahasa agama dan kebudayaan bagi dunia Islam. Sebelum abad tujuh masehi, bahasa Arab adalah "bahasa statis" dan terkungkung oleh batas-batas kesukuan. Ia tidak lain hanya merupakan bahasa orang-orang badui yang bermukim di bagian utara semenanjung Arabia, dan sebagian tersebar di sebagian daerah Syam dan Irak, serta menjadi bahasa bagi penduduk kota-kota di daerah utara semenanjung Arabia.

Namun setelah itu, Islam berkembang dan meluas ke berbagai daerah di semenanjung Arabia, bahkan hingga benua yang berbeda. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab (13-73 H), orang-orang Arab yang mendatangi berbagai negeri baru itu, dilarang untuk memiliki hak kepemilikan tanah di daerah-daerah yang mereka tempati. Sebaliknya mereka diharuskan untuk tinggal dan menetap di perkemahan-perkemahan yang letaknya jauh dari kota. Perkemahan-perkemahan inilah yang kelak menjadi kota baru yang bercorak Islam seperti Basrah, Kufah, dan Fustat. Dan inilah yang menjadi sebab menguatnya kesatuan bahasa Arab sejalan dengan semakin berkurangnya kebiasaan berbahasa yang semula dibawa dari masing-masing kabilah.

Bahasa Arab Pada Zaman Bani Umayah
Pada masa kekuasaaan Bani Umayah, terjadilah perubahan sosial yang sangat dramatis dalam tubuh masyarakat Islam. Orang-orang Arab (pendatang) mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok sosial ini semakin hari semakin bercampur. Pada saat yang bersamaan, penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa Arab.

Alasan mereka setidaknya untuk dapat saling mengerti dan memahami dalam komunikasi dengan orang-orang Arab yang bahasanya masih asing bagi mereka. Maka, terbentuklah persatuan dua kelompok yang masing-masing memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial. Penduduk Mesir yang tadinya berbahasa koptik Mesir, mulai mempelajari --secara langsung-- bahasa Arab. Demikian juga penduduk Syam dan sebagian Irak yang berbicara dengan bahasa Aramia, penduduk Maroko dan Afrika Utara yang menggunakan bahasa Barbar, penduduk Iran dan sebagian Irak yang menggunakan bahasa Iran (persi), semua mengalami masa-masa terjadinya sosialisasi bahasa Arab.

Pada saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa Arab yang fasih ( Arab standar) menunjukkan ketinggian martabat sosial dan kelas tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya, kalangan pejabat dan penguasa pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan mereka dengan bahasa yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan. Tidak cukup dengan itu, mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi mereka ke wilayah yang dihuni masyarakat Badui di Hijaz.

Anak-anak mereka sengaja dikirim ke Badui untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab yang masih bersih. Maka jelaslah, bahwa sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriyah, bahasa Arab sudah mencapai dan menduduki posisi sedemikian tinggi, terhormat dan sangat kuat di wilayah-wilayah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi. Pada masa Daulah Umayah inilah proses "Arabisasi" berjalan lancar melalui penyebaran Islam. Pada masa ini pula ditata rapi administrasi professional dan dengan sendirinya bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara Islam. Orang-orang pribumi yang ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk fasih berbahasa Arab, dan ini merupakan langkah positif yang cukup massif. Tapi satu hal yang tidak bisa dilewatkan, adalah bahwa antusiasme mereka mempelajari bahasa Arab adalah karena dorongan agama. Islam yang baru saja mereka peluk, secara tidak memaksa memotivasi mereka untuk mendalami al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab.

Dalam tingkat perkembangan selanjutnya, bahasa Arab memasuki masa-masa pertarungan yang sangat sulit dengan bahasa-bahasa asli yang sudah hadir di daerah-daerah yang memeluk Islam itu. Pertarungan itu berlangsung lama dan tidak selesai dalam satu generasi. Setelah hampir dua abad berlangsung, bahasa Arab menghirup udara tenang karena ia sudah menjadi bahasa dominan di seluruh pelosok daerah yang sudah dimasuki bahasa Arab. Beberapa abad setelah itu, pertarungan pun berakhir, bahasa Arab berhasil mendesak, bahkan menggantikan bahasa Persia, Aramia, Barbar, Yunani, Koptik di negeri-negeri yang ditaklukan oleh Islam. Namun demikian, perkembangan ini tidak berjalan mulus.
Percampuran yang tidak terbendung dari dua kelompok (pendatang dan pribumi) ini tidak bisa menghindarkan perkawinan di antara anggota kelompok yang berbeda ini. Generasi-generasi yang lahir dari perkawinan ini ternyata kurang menguasai bahasa Arab dengan baik. Hal ini ditambah dengan mengendurnya semangat berbahasa Arab di lingkungan keluarga pejabat/penguasa. Hal inilah yang kemudian mengundang keprihatinan tokoh-tokoh intelektual muda untuk melakukan gerakan pemurnian bahasa Arab. Tokoh-tokoh intelektual muda itu merupakan kolaborasi Arab-Non Arab. Salah satu peran besar yang diukir pemerintahan Bani Umayyah, lewat gerakan ini adalah penggunaan bahsa Arab sebagai media bahasa karang mengarang (karya tulis). Banyak buku-buku berkualitas tinggi dengan kedalaman ilmu yang luar biasa berhasil diterbitkan pada masa itu. Padahal, sebelum Bani Umayah berkuasa, bahasa Arab hanya digunakan sebatas untuk syair dan peribahasa (Amtsal) selain dalam al-Quran.

Ibnu Muqaffa, (wafat 142 H) adalah salah seorang ulama terkemuka yang termasuk pertama kali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa karang mengarang dalam buku-buku yang ia tulis. Dengan demikian, penggunaan bahasa Arab memasuki babak baru, yakni dunia pustaka karena bahasa Arab tidak lagi hanya sebatas bahasa syir. Bidang ilmu lainnya yang lahir, tumbuh dan berkembang pada masa Daulah Umayyah adalah ilmu Arudh yang dibadani oleh Khalil bin Ahmad, di tangan beliaulah lahir wazan-wazan syair Arab semisal, Thawil, Khofif, Rajaz, Basith, Kamil dan lain-lain. Dalam hal ini ilmu semantik yang menjadi bagian ilmu bahasa mulai berkembang.

Bahasa Arab Pada Zaman Bani Abbasiyyah 
Walaupun pemerintahan Bani Umayyah yang berasal dari keturunan bangsa Arab telah runtuh, namun fungsi dan peranan bahasa Arab tidak ikut jatuh. Bahasa Arab tetap berperan dan menempati posisi yang sangat penting sebagaimana mula awalnya meskipun zaman dinasti Bani Abbasiyah --menurut sejarawan Islam-- menang dan menggambarkan kemenangan orang-orang Persia atas Bani Umayyah yang berasal dari bangsa Arab. Pernyataan ini didasarkan atas bukti bahwa sebagian menteri dan panglima militer adalah orang-orang Persia atau ketrurunan orang-orang Persia.

Seluruh Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian serius kepada bahasa Arab. Kecintaan terhadap bahasa Arab didasarkan pada kecintaan mereka terhadap Islam. Doktrin-doktrin al-Quran dan hadits tentang pentingnya bahasa Arab betul-betul mengisi dada dan otak mereka sehingga mengalahkan cinta kesukuan dan premordialitas semu terhadap hal-hal lain di luar motif agama. Kalau di zaman Bani Umayyah, para pejabat mengirim anak-anak dan generasi mereka ke Badui untuk mendalami dan menguasai bahasa yang masih bersih dan belum tercemari bahasa-bahasa luar, maka pada zaman Bani Abbasiyah ini berbeda. Justru orang Arab Baduilah yang diundang hadir ke istana untuk mengajarkan bahasa Arab kepada anak-anak dan keluarga para khalifah. Hal itu didasarkan pada kehendak para khalifah untuk memberikan hidup bahagia dan fasilitas istana bagi putra putri mereka. Pada zaman Bani Abbasiyah ini, gerakan pemurnian bahasa Arab terus berjalan.

Hal ini lahir karena bahasa Arab sempat merosot ke tingkat sangat rendah ketika terjadi proses percampuran orang-orang Arab dengan penduduk lokal yang baru masuk Islam. Pada saat itu bahasa Amiyah (The Colluquial Arabic, Al-Arabiyah al Amiyah) sebagai campuran bahasa ( Arabiyah Muwalladah) antara kelompok dua bahasa yang berbeda tadi menjadi tren bahasa kelas menengah dan rendah bahkan kaum terpelajar.

Pada tahap selanjutnya, bahasa Arab Amiyah atau al- Muwalladah tersebut kemudian berubah menjadi bahasa percakapan dan alat komunikasi yang akhirnya berbeda jauh dengan bahasa Arab Fusha dalam beberapa hal. Misalnya perbedaan yang menyangkut segi tata bunyi ( Al-Ashwat, Fonologi), bentuk kata (Al-Sharf, Morfologi), tata kalimat (Al-Nahwu, Sintaksis), maupun kosakata (Al-Mufradat, Vokabulari). Gerakan pemurnian ini dibantu oleh para khalifah dan para pejabat Bani Abbasiyah sehingga berjalan lancar. Khalifah, para menteri dan pejabat-pejabat Bani Abbasiyah sering menyelenggarakan forum-forum ilmiyah di istana. Misalnya, pertemuan antara Sibawaih (wafat 177 H) dan al-Kisai (wafat 189 H) yang dihadiri langsung oleh khalifah Harun al-Rasyid seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu.

Namun sejak pertengahan abad dua sampai awal abad tiga Hijriyah, terjadi pertarungan antara bahasa Arab Fusha dengan bahasa Arab Amiyah. Bahasa Arab Fusha yang digawangi orang-orang Arab Badui, yang tidak henti-hentinya didatangkan ke pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berhadapan dengan bukan hanya orang-orang awam yang memang menggunakan bahasa Amiyah ini dalam pergaulan sehari-hari, tapi juga dengan terbitnya buku-buku ilmiah yang ditulis dengan bahasa Arab yang kurang murni karena mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab Muwalladah. Tidak hanya itu, pada masa ini salah seorang menteri, Ismail Ibnu Bulbul dan para pejabat tinggi kerajaan juga berbicara dengan menggunakan bahasa Arab Amiyah. Keadaan yang lebih menyedihkan adalah para ahli Nahwu yang seharusnya teguh untuk mempertahankan bahasa Arab Badui pun pada akhir abad tiga Hijriyah turut menggunakan bahasa Arab Amiyah dalam percakapan biasa. Tapi harapan pun tumbuh ketika buku-buku yang memakai bahasa Arab Badui diterbitkan untuk mengoreksi dan meluruskan penggunaan kosakata yang salah yang digunakan dalam buku-buku berbahasa Arab Fusha. Dan sejak saat itu bahasa Arab tidak hanya dipelajari secara Listening (didengar langsung) dari orang-orang Badui, tapi juga sudah menjadi mata ajar yang dapat dipelajari melalui buku-buku.

Abad kecemerlangan bahasa Arab di zaman Khilafah Abbasiyah adalah abad ke empat. Hal itu selain disebabkan terbitnya buku-buku berbahasa Arab, juga karena masa itu hampir tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa Arab dengan mengunjungi guru-guru bahasa Arab badui. Bahasa Arab sudah cukup dipelajari dari buku-buku yang setiap saat bertambah dan dipublikasikan.

Beberapa buku yang sudah terbit masa itu, antara lain , Jawahir Al-Lafdz yang ditulis Qudamah ibn Jafar dan Alfadz Al-Kitabiyah yang ditulis Yaqub al- Sakit al – Jamhi. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab badui sudah tidak lagi menjadi sandaran ketergantungan penguasa dan rakyat karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain bahasa Arab abad ini sudah menjadi bahasa yang mantap karena ia sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Hal ini memunculkan tuntutan bagi lahirnya kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang baru yang tidak dapat dinyatakan oleh bahasa masyarakat Arab Badui dengan kosakata dan gaya bahasa yang sangat terbatas dan hanya mampu mencerminkan alam kehidupan bersahaja di padang pasir.

Namun demikian, bahasa Arab Badui tidak semuanya ditinggalkan, masih ada sebagian kecil dari para penyusun kamus yang masih berminat melakukan pengamatan ke pedalaman gurun sahara dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan, baik kata-kata ataupun gaya bahasa yang langsung diperoleh dari lingkungan Badui.

Mahmud al-Azhar, misalnya (wafat 370 H) berhasil menyusun sebuah kamus fenomenal Al-Lughat Tahdzib. Hal inilah yang membuat bahasa Arab di Persia dan Irak, kala itu menjadi bahasa dengan tingkat tertinggi karena penduduk setempat mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh serta mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk dapat menguasai bahasa Arab asli dengan baik dibanding kawasan-kawasan dan negeri-negeri lain seperti Syam, Mesir, Afrika Utara dan Andalusia.

Uniknya, bahasa Arab Fusha, dengan dialek-dialek yang berbeda-beda tadi, masih tetap mempersatukan daerah-daerah tersebut dan digunakan oleh ulama, sastrawan dan para cendikiawan. Bahkan bahasa Arab Fusha ini terus digunakan sampai negeri-negeri tadi telah berdaulat dan berdiri sendiri. 

(Oleh : Asep M. Tamam/Dosen Pendidikan Bahasa Arab Cipasung/copast:http://arabionline.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perkembangan-bahasa-arab.html)

Bahasa Arab Dulu dan Sekarang

Para ahli linguistik Arab sepakat bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat nomor dua. Hal iniberdasar pada beberapa penelitian yang salah satunya adalah bahwa bahasa Arab memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Ibrani. Selain itu QS:2:31 tersebut tidak mengindikasikan pemberian nama-nama kepada Nabi Adam dengan bahasa Arab.

Bahasa Arab lahir di Jazirah Arab jauh sebelum Islam lahir. Pada saat itu bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing-masing memiliki dialek-dialek (Arab: Lahjah) berbeda-beda. Bagaimanapun perbedaan antara dialek satu dengan lainnya tidaklah banyak berbeda. Sejak zaman Jahiliyah sudah terdapat bahasa Arab Persatuan yaitu bahasa Arab Fusha. Bahasa Arab fusha adalah bahasa syair d an Khitabah yang berkembang pesat saat itu. Syair dan khitabah memiliki posisi penting dan kedudukan yang kuat dalam tatanan kehidupan Arab Jahiliyah. Dengan syair para kabilah-kabilah Arab berperang, dan dengan syair pula mereka berdamai. Selain itu syair berfungsi sebagai pujian, celaan, penyemangat perang, keunggulan dan permohonan maaf. Semetara khithabah berfungsi sebagai penyemangat, dan wahana memberikan pengaruh bagi kalangan berpengaruh saat itu. hal itu bisa terlihat pada khutbahnya Hani Ibnu Qabishah saat terjadi perang dahsyat antara Persia dan Kabilah Bani Bakar. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa peran bahasa Arab pada zaman sebelum kedatangan Islam adalah media komunikasi masyarakat yang paling efektif melalui karya-karya sastra yang berjaya saat itu.

Abad ke 7 Islam lahir dan berkembang di Semenanjung Arab. Allah SWT menurunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab fusha (QS: 12:2). Al-Qur,an banyak menyumbangkan lafaz lama dan makna-makna yang baru, dan memiliki gaya bahasa yang khas yang tidak dimiliki bahasa Arab sebelumnya. Kekhasan al-Qur’an yang kekuatan sastranya berhasil membuat sebagian kafir Qurays masuk Islam. Mereka terkagum-kagum dengan al-Qur’an. Awalnya meraka menganggapnya sebagai syair karangan Muhammad SAW. Namun akhirnya mereka berkata “Demi Allah ini bukan sya’ir”.  Al-Qur,an inilah yang menjadi sebab berkembangnya ilmu tata bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah. Pada era Khulafau Rasyidun, tepatnya zaman Ali Bin Abi Thalib berkembanglah ilmu tata bahasa Arab yang di pelopori oleh ulama-ulama seperti Sibawaih, al-Kisai, dan Abul Aswad ad-Duali.

Bahasa Arab menjadi bahasa Internasional pada masa Khilafah Umawiyah dan Abbasiyah. Pada saat itu Peradaban Islam tengah bersinar dan bahasa Arab adalah bahasa peradaban ini.
Pada saat itu syair-syair arab mulai berkembang kembali yang sebelumnya sempat redup.  Ribuan buku buku ilmu pengetahuan dari bahasaYunani dan Persia diterjemahkan kedalam bahasa ini Demikian juga dengan bahasa Arab para ilmuwan Islam menulis ribuan buku tentang kedokteran, fisika, kimia, botani, filsfat, geografi, sejarah, tekhnik, astronomi dan lain-lain. Bahasa Arablah yang membawa ilmu-ilmu tersebut ke Eropa hingga menjadi dasar peradaban Barat modern.

Setelah Peradaban islam mengalami keruntuhan, datanglah penjajahan dari para imperialis barat atas negara-negara islam. Maka bangsa Arab menjadi lemah. Mereka meninggalkan agamanya. Kemudian terjadilah perang budaya antara Islam dan Barat. Negara-negara Islam terkotak-kotak menjadi daerah jajahan bangsa barat. Maka seiring dengan itu munculah dialek-dialek yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ada dialek Mesir, Suriah, Maroko, Saudi, Yaman, dan lain-lain. Perbedaan inilah yang menyebabkan terpecah belahnya bangsa Arab.Ketika misalnya orang Mesir berkunjung ke Iraq, maka mereka akan menemukan kesulitan saat berkomunikasi, lantaran bahasa Arab mereka berbeda.

Di Zaman modern ini keaadan sudah berubah. Perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat dan mencapai taraf kemajuan yang luar biasa. Bahasa Arab Fusha kembali menaiki tangga kejayaan seiring berkembang pesatnya pusat studi islam dan Arab di seluruh dunia. Tidak hanya dunia islam saja seperti Timur-Tengah, Malaysia, dan Indonesia yang memiliki banyak pusat studi Islam dan Arab, negara-negara barat pun banyak mendirikan studi Islam dan Arab di kampus-kampus mereka.
Kini bahasa Arab  menjadi bahasa internasional kembali untuk keduakalinya selain bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Prancis, dan bahasa Spanyol. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa resmi PBB (arab: Haiatul Umami al-Mutahidah). Menjadi bahasa yang memiliki penutur lebih dari 200 juta bangsa Arab, dan lebih dari satu milyar Muslim di seluruh dunia berdoa dan beribadah dalam bahasa Arab.

Referensi:
Ma’had Ta’limu Lughah al-Arabiyah. 1994.  Al-Adab. Riyadh:Jamiah Iman Muhammad bin Suud al- Islamiyah, al-Mamlakah al-Arabiyah as-Suudiyah.
Hitti, Philip K. 2013. History of The Arabs. Jakarta: Serambi.
Ibrahim, Abdurahman. 2003. Al-Arabiya Baina Yadaik 2. Riyadh: Lembaga Wakaf Islam Kerajaan Arab Saudi

Jumat, 19 Agustus 2016

Contoh Latihan Bahasa Arab menggunakan Google Formulir


Mengenal Bahasa Arab

Bahasa Arab
Bahasa Arab (اللغة العربية al-lughah al-‘Arabīyyah, atau secara ringkas عربي ‘Arabī) adalah salah satu bahasa Semit Tengah, yang termasuk dalam rumpun bahasa Semit dan berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Neo Arami. Bahasa Arab memiliki lebih banyak penutur daripada bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Semit. Ia dituturkan oleh lebih dari 280 juta orang sebagai bahasa pertama, yang mana sebagian besar tinggal di Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa ini adalah bahasa resmi dari 25 negara, dan merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai oleh Al-Qur'an. Berdasarkan penyebaran geografisnya, bahasa Arab percakapan memiliki banyak variasi (dialek), beberapa di aleknya bahkan tidak dapat saling mengerti satu sama lain. Bahasa Arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3Bahasa Arab Baku (kadang-kadang disebut Bahasa Arab Sastra) diajarkan secara luas di sekolah dan universitas, serta digunakan di tempat kerja, pemerintahan, dan media massa.
Bahasa Arab Baku berasal dari Bahasa Arab Klasik, satu-satunya anggota rumpun bahasa Arab Utara Kuna yang saat ini masih digunakan, sebagaimana terlihat dalam inskripsi peninggalan Arab pra-Islam yang berasal dari abad ke-4. Bahasa Arab Klasik juga telah menjadi bahasa kesusasteraan dan bahasa peribadatan Islam sejak lebih kurang abad ke-6Abjad Arab ditulis dari kanan ke kiri.
Bahasa Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa Eropa turut meminjam banyak kosakata dari bahasa Arab.
Pengaruh Bahasa Arab Pada Bahasa Lain
Seperti dengan bahasa Eropa lain, banyak kata-kata Inggris diserap dari bahasa Arab, pada umumnya melalui bahasa Eropalainnya, terutama dari Spanyol dan Italia, di antaranya adalah kosakata yang digunakan sehari-hari seperti "gula" (sukkar), "kapas" (quṭn) atau "majalah" (makhzen). Kata-kata lain yang sangat terkenal misalnya "aljabar", "alkohol" dan "zenith".
Pengaruh Arab telah menjadi paling mendalam pada negara-negara yang dikuasai oleh islam. Arab adalah sumber kosa kata utama untuk bahasa yang berbagai seperti bahasa BerberKurdiPersiaSwahiliUrduHindiTurkiMelayu, dan Indonesia, baik juga seperti bahasa lain di negara di mana bahasa ini adalah dituturkan. Contohnya perkataan Arab untuk buku /kita:b/ digunakan dalam semua bahasa di atas, kecual pada bahasa Melayu dan Indonesia (di mana ia spesifiknya bermaksud "buku agama").

Istilah jarak pinjaman dari terminologi agama (seperti Berber taẓallit "sembahyang" salat), istilah akademik (seperti Uighur mentiq"logik"), barang ekonomik kata hubung (seperti Urdu lekin "tetapi".) Kebanyakan aneka Berber (seperti Kabyle), bersama dengan Swahili, pinjam setengah bilangan dari Arab. Kebanyakan istilah agama yang digunakan oleh Muslim seluruh dunia adalah pinjaman dari bahasa Arab, seperti salat untuk 'sembahyang' dan imam untuk 'ketua sembahyang'. Dalam bahasa yang tidak berhubungan langsung dengan Dunia Arab, banyak pula kosa kata bahasa Arab yang diserap melalui bahasa lain yang berhubungan dengan bahasa Arab; contohnya, banyak kata dalam bahasa Urdu yang diserap dari bahasa Persia yang berasal dari bahasa Arab, dan banyak kosa kata dalam bahasa Hausa yang diserap dari bahasa Arab melalui Kanuri. (Wikipedia)

Soal Olimpiade Bahasa Arab Tahun 2019

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Internasional. Satu dari enam bahasa resmi yang digunakan dalam organisasi Perserikatan Bangsa-ba...